Makna Banyu Pinaruh

Banyu Pinaruh dirayakan setelah Rahina Saraswati. Banyu pinaruh berasal dari kata banyu yang artinya air (kehidupan), dan pinaruh yang berasal dari kata weruh atau pinih weruh. Weruh bermakna pengetahuan, sehingga dapat dikatakan banyu pinaruh adalah hari dimana kita memohon sumber air pengetahuan.


Banyu pinaruh merupakan titik awal periode wuku di Bali, sehingga akan sangat baik jika sebelum kita mengawali suatu periode yang baru dan sebelum kita mengisi diri dengan pengetahuan, alangkah baiknya kita membersikan tubuh ini dengan air suci (penglukatan). Disebutkan dalam Manawa Dharmasastra Buku V. 109
Adbhirgatrani cuddhyanti manah satyena cuddhyati, widyatapobhyam bhutatma, buddhir jnanena cuddhyati.
Artinya : Tubuh dibersihkan dengan air, pikiran disucikan dengan kebenaran, jiwa disucikan dengan pelajaran suci dan tapa brata, kecerdasan dengan pengetahuan yang benar.

Melukat Saat Banyu Pinaruh

Penglukatan dapat dilakukan di beberapa tempat seperti Sumber mata air (klebutan), Campuhan (pertemuan aliran sungai dan laut), Pantai, Merajan. Penglukatan sendiri dapat dipuput oleh Pandita, Pinandita/Pemangku, ataupun dilakukan sendiri langsung ke sumber-sumber mata air seperti klebutan, campuhan, maupun di pantai. Banten pengelukatan yang paling sederhana dapat menggunakan canang sari atau pejati sebagai atur piuning/permakluman dalam memohon air suci.

Saat Banyu Pinaruh umat melaksanakan suci laksana, mandi dan keramas menggunakan air kumkuman di segara. Kegiatan itu bertujuan untuk ngelebur mala. ”Segara itu kan tempat peleburan dasa mala. Dengan melakukan prosesi itu diharapkan terjadi keseimbangan lahir dan batin,”.

Selain pada tempat-tempat yang telah disebutkan diatas, jika tidak sempat juga bisa dilakukan dirumah. Semua itu dibenarkan oleh ajaran agama Hindu seperti yang tertuang dalam buku kesatuan tafsir terhadap aspek-aspek agama Hindu I-XI.

Jadi dapat disimpulkan Rahina Banyu Pinaruh adalah hari yang baik, hari dimana kita memohon sumber air pengetahuan untuk membersihkan kekotoran atau kegelapan pikiran (awidya) yang melekat dalam tubuh umat.  Seperti yang tertuang dalam   Bhagavad Gita IV.36, yaitu berbunyi:
Api ced asi papebhyah, sarwabheyah papa krt tamah, sarwa jnana peavenaiva vrijinam santarisyasi
Artinya : walau engkau paling berdosa di antara manusia yang memiliki dosa, dengan perahu ilmu pengetahuan, lautan dosa akan dapat engkau seberangi.

Sehari setelah merayakan Hari Suci Saraswati, umat Hindu di Bali biasanya melakukan prosesi melukat atau mandi di pemandian suci maupun segara (laut). Prosesi itu biasanya ditutup dengan menyantap nasi dira atau nasi berwarna kuning. Namun sebelum disantap bersama keluarga, nasi tersebut terlebih dahulu dipersembahkan ke setiap pelinggih di sanggah/merajan ataupun tempat lainnya yang ada di kawasan rumah. Apa sejatinya makna dari ketiga hal ini? Kenapa Saraswati selalu tak luput dari Banyu Pinaruh dan nasi dira? 

Ketika berbicara mengenai upacara maupun hari suci, pemahaman kita tidak boleh lepas dari instrumen ruang dan waktu. Ketika ada pada ruang dan waktu, di sana ada materi. Namun kita harus pahami, materi dalam upacara maupun hari suci adalah dalam bentuk makna atau simbol.

Terkait dengan perayaan Saraswati ini, kalau kita berangkat dari konsep dasar “Kehadiran Tuhan untuk memberikan tuntunan pada umat manusia”, maka kita harus kembali membersihkan pikiran dari noda duniawi. Sebab, Tuhan hadir ke dalam diri kita melalui pikiran yang suci. Hal yang membedakan manusia dengan binatang dan tumbuhan itu hanya satu, yakni manas (pikiran). Aspek ini harus diberdayakan untuk kembali memuliakan derajat manusia. Pikiran harus ditransendensikan, menggunakan instrumen kecerdasan kebijaksanaan atau budi.

Oleh sebab itu, kalau pola pikir kita dilandasi oleh kebijaksanaan maupun kecemerlangan, kesadaran akan waranugraha Sang Hyang Aji Saraswati, tentu akan terjadi karya-karya yang sangat mulia. Segala sesuatu yang ada di dunia ini ciptakan dari cecek (titik). Cecek inilah yang berkembang menjadi sebuah bentuk. Dalam dunia binatang, orang Bali mengenal crekcek (cicak), yang suaranya berbunyi ‘cecek’. Setiap cecek bersuara, di sana diyakini ada kebenaran (Aji Saraswati). Cecek (titik) adalah sunya (kehadiran) awal dari kelahiran kita di muka bumi ini. Rangkaian cecek ini lalu melahirkan aksara. Aksara dalam agama Hindu bukan hanya sebagai tanda daripada bunyi. Tapi dia adalah sebuah simbol.

Secara etimologi, aksara memiliki dua suku kata, ‘a’ artinya awal dan ‘ksara’ artinya mulia. Jadi, cecek adalah lingkaran yang selalu menghadirkan kemuliaan bagi manusia. Dalam pandangan agama Hindu, kemuliaan ini dialirkan ilmu pengetahuan. Di Bali, perayaan turunnya pengetahuan ini dirayakan setiap Saniscara Umanis, Wuku Watugunung.

Masyarakat meyakini, pengetahuan tersebut diturunkan dalam bentuk air. Sebab, air merupakan lambang kemurnian atau kesucian, yang dapat membersihkan noda sekala maupun niskala, serta mengembalikan kemuliaan manusia. Maka dari itu, umat menggelar mandi suci saat Banyu Pinaruh.

Dalam kepercayaan umat Hindu, Saraswati merupakan saktinya Bhatara Brahma. Oleh sebab itu, saya sendiri sebagai ‘yajamana’, pada Banyu Pinaruh menggelar ‘Gangga Prastita’ atau mandi weda.
Sehingga, air yang mengalir tidak hanya dalam bentuk ‘Aji Saraswati’ (ilmu pengetahuan), tetapi juga dalam bentuk tirtha amertha yang mampu membangun kemuliaan.

Barang siapa yang telah memperoleh ilmu pengetahuan, akan menikmati kemakmuran. Sebab bagaimanapun, tanpa adanya penciptaan dan ilmu pengetahuan, tidak akan ada kemakmuran. Kemakmuran adalah progres kemajuan. Dalam hal ini Banyu Pinaruh, simbol kemakmuran ini ada pada nasi dira.




1 komentar:

  1. Artikel yang bermanfaat,sukses selalu yah orangnya juga blognya..
    Kalo ada waktu mampir dong keblog ku saya baru buat artikel tentang Prestasi Jokowi Selama ini Yang Wajib Di Ketahui

    BalasHapus