Para Pembaca yang berbahagia dan seluruh Umat Hindu dimanapun berada. Om Swastyastu, semoga semua dalam keadaan sehat dan sejahtera atas karunia dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Setelah minggu kemarin saya membahas tentang perayaan Hari Raya Nyepi Tahun Baru Saka 1940 tepat pada Hari Sabtu, 17 Maret 2018. Kali ini saya akan membahas tentang Hari Raya Pagerwesi yang jatuh pada hari Rabu, 21 Maret 2018 atau dalam penanggalan Hindu tepat pada Budha Kliwon Wuku Sinta.
Seperti kita ketahui Pagerwesi
merupakan bagian dari rangkaian perayaan hari Saraswati yang jatuh pada
hari terakhir dari wuku terakhir. Hari Raya Pagerwesi ini merupakan Hari Raya yang dirayakan pada Wuku pertama yaitu Wuku Sinta. Perlu kita ketahui bahwa jumlah wuku ada 30. Sedangkan hari raya pada wuku ke 30 adalah Hari Raya Saraswati yang merupakan hari raya turunnya ilmu pengetahuan suci yaitu Kitab Suci Weda.
“Budha
Kliwon Shinta Ngaran Pagerwesi payogan Sang Hyang Pramesti Guru kairing
ring watek Dewata Nawa Sanga ngawerdhiaken sarwa tumitah sarwatumuwuh
ring bhuana kabeh.”
Hari Raya ini diperingati dan dirayakan sebagai
anugerah Sanghyang Widhi kepada umat manusia dalam bentuk ilmu
pengetahuan dan teknologi, diartikan sebagai pembekalan yang tak
ternilai harganya bagi umat manusia untuk kehidupan baru pada era
berikutnya yang dimulai pada wuku Sinta. Dalam lontar Sundarigama disebutkan:
Artinya:
Rabu
Kliwon Shinta disebut Pagerwesi sebagai pemujaan Sang Hyang Pramesti
Guru yang diiringi oleh Dewata Nawa Sanga (sembilan dewa) untuk
mengembangkan segala yang lahir dan segala yang tumbuh di seluruh dunia.
Guru Rupaka atau Orang tua kita. Mereka merupakan Guru yang harus dihormati dan disayangi karena telah mengasuh, menjaga dan merawat kita sejak dalam kandungan sampai dengan dewasa. Selain itu mereka juga memberikan pendidikan kepada kita. Oleh karenanya mereka dipercaya sebagai "Pitri Dewo Bhawa" Titisan para dewa.
Guru Wisesa atau Pemerintah. Dalam sebuah negara pasti ada yang mengatur masyarakatnya. Pemerintah yang memiliki kewenangan sehingga dalam ajaran Hindu kita harus patuh karena mereka merupakan guru.
Guru Pengajian atau Guru di Sekolah. Merupakan kewajiban kita sebagai murid tentu harus menghormati dan taat kepada Guru di Sekolah.
Guru swadyaya yang dimaksud guru disini adalah Tuhan ( Sang Hyang Widhi). Tuhan adalah guru yang kekal, abadi, setia, dan tidak mampu hilang dalam diri setiap manusia, untuk menghormati guru swadyaya maka seseorang harus rajin untuk melaksanakan sembahyang, menjalankan perintah agama dengan benar, menjauhi hal-hal yang dilarang oleh agama.
Pelaksanaan upacara/upakara Pagerwesi
sesungguhnya titik beratnya pada para pendeta atau rohaniawan pemimpin
agama. Dalam lontar Sundarigama disebutkan:
"Sang Purohita ngarga apasang
lingga sapakramaning ngarcana paduka Prameswara. Tengahiwengi yoga
samadhi ana labaan ring Sang Panca Maha Bhuta, sewarna anut urip
gelarakena ring natar sanggah."
Artinya:
Sang
Pendeta hendaknya ngarga dan mapasang lingga sebagaimana layaknya
memuja Sang Hyang Prameswara (Pramesti Guru). Tengah malam melakukan
yoga samadhi, ada labaan (persembahan) untuk Sang Panca Maha Bhuta,
segehan (terbuat dari nasi) lima warna menurut uripnya dan disampaikan
di halaman sanggah (tempat persembahyangan).
Hakikat pelaksanaan upacara
Pegerwesi adalah lebih ditekankan pada pemujaan oleh para pendeta dengan
melakukan upacara Ngarga dan Mapasang Lingga.
Tengah malam umat dianjurkan
untuk melakukan meditasi (yoga dan samadhi). Banten yang paling utama
bagi para Purohita adalah "Sesayut Panca Lingga" sedangkan
perlengkapannya Daksina, Suci Praspenyeneng dan Banten Penek. Meskipun
hakikat hari raya Pagerwesi adalah pemujaan (yoga samadhi) bagi para
Pendeta (Purohita), namun umat kebanyakan pun wajib ikut merayakan sesuai
dengan kemampuan. Banten yang paling inti perayaan Pegerwesi bagi umat
kebanyakan adalah natab Sesayut Pagehurip, Prayascita, Dapetan.
Tentunya dilengkapi Daksina, Canang dan Sodaan. Dalam hal upacara, ada
dua hal banten pokok yaitu Sesayut Panca Lingga untuk upacara para
pendeta dan Sesayut Pageh Urip bagi umat kebanyakan.
Jiwa yang tidak diselimuti oleh awan
kegelapan dari hawa nafsu akan dapat menerima vibrasi spiritual dari
Brahman. Vibrasi spiritual itulah sebagai pagar besi dari kehidupan dan
itu pulalah guru sejati. Karena itu amat ditekankan pada Hari Raya
Pagerwesi para pendeta agar ngarga, mapasang lingga.
Ngarga adalah suatu tempat untuk
membuat tirtha bagi para pendeta. Sebelum membuat tirtha, terlebih
dahulu pendeta menyucikan arga dengan air, dengan pengasepan sampai
disucikan dengan mantra-mantra tertentu sehingga tirtha yang dihasilkan
betul-betul amat suci. Pembuatan tirtha dalam upacara-upacara besar
dilakukan dengan mapulang lingga. Tirtha suci itulah yang akan dibagikan
kepada umat. Mengingat ngargha mapasang lingga dianjurkan oleh lontar
Sundarigama pada hari Pagerwesi ini, berarti para pendeta harus
melakukan hal yang amat utama untuk mencapai vibrasi spiritual payogan
Sanghyang Pramesti Guru.
Sesayut Panca Lingga dengan inti
ketipat Lingga adalah memohon lima manifestasi Siwa untuk memberikan
benteng kekuatan (pager besi) dalam menghadapi hidup ini. Para
pendetalah yang mempunyai kewajiban menghadirkan lebih intensif dalam
masyarakat. Kemahakuasaan Tuhan dalam manifestasinya sebagai Siwa dengan
simbol Panca Lingga, Sesayut Pageh Urip bagi kebanyakan atau umat yang
masih walaka. Kata "pageh" artinya "pagar" atau "teguh" sedangkan
"urip" artinya "hidup". "Pageh urip" artinya hidup yang teguh atau
hidup yang terlindungi. Kata "sesayut" berasal dari bahasa Jawa dari
kata "ayu" artinya selamat atau sejahtera.
Natab Sesayut artinya mohon
keselamatan atau kerahayuan. Banten Sesayut memakai alas sesayut yang
bentuknya bundar dan maiseh dari daun kelapa. Bentuk ini melambangkan
bahwa untuk mendapatkan keselamatan haruslah secara bertahap dan
beren-cana. Tidak bisa suatu kebaikan itu diwujudkan dengan cara yang
ambisius. Demikianlah sepintas filosofi yang terkandung dalam lambang
upacara Pagerwesi.
Di India, umat Hindu memiliki
hari raya yang disebut Guru Purnima dan hari raya Walmiki Jayanti.
Upacara Guru Purnima pada intinya adalah hari raya untuk memuja Resi
Vyasa berkat jasa beliau mengumpulkan dan mengkodifikasi kitab suci
Weda. Resi Vyasa pula yang menyusun Itihasa Mahabharatha dan Purana.
Putra Bhagawan Parasara itu pula yang mendapatkan wahyu ten-tang Catur
Purusartha yaitu empat tujuan hidup yang kemudian diuraikan dalam kitab
Brahma Purana.
Berkat jasa-jasa Resi Vyasa
itulah umat Hindu setiap tahun merayakan Guru Purnima dengan mengadakan
persembahyangan atau istilah di India melakukan puja untuk keagungan
Resi Vyasa dengan mementaskan berbagai episode tentang Resi Vyasa. Resi
Vyasa diyakini sebagai adi guru loka yaitu gurunya alam semesta.
Sedangkan
Walmiki Jayanti dirayakan setiap bulan Oktober pada hari Purnama.
Walmiki Jayanti adalah hari raya untuk memuja Resi Walmiki yang amat
berjasa menyusun Ramayana sebanyak 24.000 sloka. Ke-24. 000 sloka
Ramayana itu dikembangkan dari Tri Pada Mantra yaitu bagian inti dari
Savitri Mantra yang lebih populer dengan Gayatri Mantra. Ke-24 suku kata
suci dari Tri Pada Mantra itulah yang berhasil dikembangkan menjadi
24.000 sloka oleh Resi Walmiki berkat kesuciannya. Sama dengan Resi
Vyasa, Resi Walmiki pun dipuja sebagai adi guru loka yaitu maha gurunya
alam semesta. Sampai saat ini Mahabharata dan Ramayana yang disebut
itihasa adalah merupakan pagar besi dari manusia untuk melindungi
dirinya dari serangan hawa nafsu jahat.
Jika kita boleh mengambil
kesimpulan, kiranya Hari Raya Pagerwesi di Indonesia dengan Hari Raya
Guru Purnima dan Walmiki Jayanti memiliki semangat yang searah untuk
memuja Tuhan dan Rsi sebagai guru yang menuntun manusia menuju hidup
yang kuat dan suci. Nilai hakiki dari perayaan Guru Purnima dan Walmiki
Jayanti dengan Pegerwesi dapat dipadukan. Namun bagaimana cara
perayaannya, tentu lebih tepat disesuaikan dengan budaya atau tradisi
masing-masing tempat. Yang penting adalah adanya pemadatan nilai atau
penambahan makna dari memuja Sanghyang Pramesti Guru ditambah dengan
memperdalam pemahaman akan jasa-jasa para resi, seperti Resi Vyasa, Resi
Walmiki dan resi-resi yang sangat berjasa bagi umat Hindu di
Indonesia.
(Sumber: Buku "Yadnya dan Bhakti" oleh Ketut Wiana, terbitan Pustaka Manikgeni dan disarikan dari beberapa sumber)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar