Denpasar - Parisada
Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Provinsi Bali menggelar Pesamuhan Madya
II, khusus membahas tentang teknis pelaksanaan dua hari raya besar,
yakni Saraswati dan Nyepi, yang jatuhnya bersamaan pada Saniscara Umanis
Watugunung, 17 Maret 2018 mendatang. Pada Pesamuhan itu diputuskan,
hari raya Saraswati tetap dilaksanakan pada hari Sabtu, namun mulai pagi
hari sampai pukul 06.00 Wita.
Ketua PHDI Provinsi Bali Prof. Dr. I
Gusti Ngurah Sudiana, M.Si., mengatakan Pesamuhan kali ini digelar
khusus untuk membahas perayaan Saraswati yang bertepatan dengan hari
raya Nyepi. Sebab sudah banyak masyarakat bertanya tentang pertemuan dua
hari raya besar tersebut. "Umat banyak sekali yang bertanya tentang
jatuhnya dua hari raya besar ini. Banyak juga umat Hindu yang ingin tahu
bagaimana nanti merayakan Saraswati baik di rumah maupun di sekolah.
Mereka kebingungan bagaimana nanti teknis pelaksanaan Saraswati,"
ujarnya di sela Pesamuhan di Kantor PHDI Bali, di Denpasar, Sabtu
(2/12).
Hasil Pesamuhan kemarin mengacu pada
pedoman pelaksanaan hari raya Nyepi yang sebelumnya pernah jatuh
bersamaan dengan hari raya lainnya seperti piodalan besar di pura
tertentu. Hari raya Saraswati tetap akan dilaksanakan pada hari yang
sama, Saniscara Umanis Watugunung. Namun, pelaksanaannya dimajukan, bisa
dimulai dari pukul 03.00 Wita hingga pukul 06.00 Wita. "Pokoknya jam
enam itu sudah tidak ada suara genta, dupa, dan tepat pukul 06.00 Wita
sembahyang Saraswati telah selesai. Setelah itu umat bisa dengan tenang
memulai perayaan Nyepi hingga pukul 06.00 Wita keesokan harinya,"
tuturnya.
"Sedangkan Banyu Pinaruh (rangkaian
Saraswati) yang biasanya umat melukat ke sumber mata air atau pantai
pukul 04.00 sampai 06.00 Wita, diundur menjadi setelah pukul 06.00 Wita
atau setelah kulkul dibunyikan tanda Nyepi telah berakhir," tandasnya.
Sementara untuk teknis pelaksanaan,
aktivitas perayaan Saraswati atau jika yang kebetulan bertepatan ada
piodalan saat itu, agar tidak mengundang keluarga jauh, tidak
membunyikan tetabuhan seperti gong, dan tidak mengundang sulinggih yang
jauh. "Kalau sulinggih dekat rumah masih bisa. Selain itu, tidak ada
ngelawar, dan tidak melibatkan orang banyak," katanya.
Lebih lanjut, untuk pelaksanaan
Saraswati di sekolah bagi siswa dan guru ditiadakan. Namun
persembahyangan Saraswati dilakukan oleh masing-masing siswa dan guru di
rumah. "Khusus Sarasawati, pihak sekolah bisa matur piuning saja ke
sekolah, lalu pelaksanaan untuk siswa dan guru dilaksanakan di rumah
masing-masing. Demikian juga di perpustakaan, tempat lontar, dan
sebagainya. Sehingga perayaan dari pertemuan dua hari raya ini tidak
akan terjadi benturan," ucapnya.
Terkait banten, menurut Dharma Upapati
PHDI Bali Ida Pedanda Gde Wayahan Wanasari, dibuat saka sidan. Artinya
dibuat semampunya. Sementara Prof. Sudiana menimpali umat bisa membuat
banten alit agar tidak sampai mengundang sulinggih untuk muput. "Dibuat
sesidan-sidannya, semampunya. Lebih penting lagi kita memaknai pertemuan
hari raya yang langka ini dengan lebih yakin, tulus, dan ikhlas
menjalankan semua upacara-upacara tersebut," ungkap Ida Pedanda
Wanasari.
Dikatakan, pertemuan dua hari raya ini
tidak akan mengurangi makna maupun sisi sastranya. Malah, menurut Prof.
Sudiana dan Ida Pedanda Wanasari, ada suatu keistimewaan untuk
menjadikan spiritual yang lebih baik. Karena Catur Brata Penyepian
nantinya akan bertemu Brata Saraswati, sehingga diharapkan bisa
memberikan spirit dan kebijaksanaan bagi setiap umat yang nantinya
digunakan dalam menjalani kehidupan. "Kita harus lebih yakin, tulus, dan
ikhlas," kata Ida Pedanda Wanasari.
"Kalau Brata Saraswati dan Catur Brata
Penyepian dipadukan, diharapkan bisa membuat diri seseorang itu
bertambah spiritualnya, kebijaksanaannya, moralitasnya, dan auranya.
Sekaligus membersihkan seluruh aura-aura negatif serta pikiran negatif
dalam diri, serta memunculkan kedamaian di masa mendatang," imbuh Prof.
Sudiana.
Pasamuhan Madya II PHDI Bali kemarin
juga mengundang peniti wariga sekaligus penyusun kalender Caka Bali, I
Gede Marayana. Menurutnya, pertemuan dua hari raya ini merupakan
pertemuan langka yang baru kali ini terjadi. Mengacu pada tatanan
rerahinan Hindu Bali dibagi menjadi dua yakni berdasarkan pawukon (wuku)
dan pesasihan (sasih). Bagi Marayana, pertemuan ini memang merupakan
siklus yang memang harus terjadi karena pertemuan kedua sistem rerahinan
itu.
"Keduanya memiliki rotasi masing-masing.
Secara umum, yang pakai rotasi pesasihan lamanya 354 hari. Sedangkan
pawukon berotasi selama 210 hari. Nah, kelipatan dari keduanya pasti
akan bertemu, dan pertemuan langka ini terjadi saat Saraswati bertemu
Nyepi tahun depan," jelasnya.
Marayana mengungkapkan, ilmu wariga
merupakan ilmu sastra yang mengandung ilmu pasti. Jadi tidak bisa
dihafal begitu saja, namun melalui ilmu ini setidaknya kita bisa
menghitung pertemuan hingga 100 tahun ke depan. "Dengan ilmu pasti ini
kita bisa menghitung untuk 100 tahun ke depan karena berpedoman pada Eka
Dasa Rudra. Dalam kurun waktu 100 tahun sekali dari tahun 2000 sampai
2079 hanya sekali ini saja Saraswati bertemu dengan Nyepi," kata
Marayana.
Pertemuan Saraswati dan Nyepi,
menurutnya juga dipengaruhi jatuhnya tilem tepat pada hari Jumat. Nah,
untuk mencari tilem yang jatuh pada hari yang sama (Sukra Kliwon
Watugunung), baru akan bertemu lima tahun yang akan datang, karena
rotasinya lima tahun sekali. Namun, pada saat itu, Sukra Kliwon
Watugunung akan ada di sasih yang berbeda. Sasihnya akan berubah,
mungkin saja bukan kesanga. Sehingga Nyepi dan Saraswati tidak pasti
akan bertemu lima tahun lagi.
Bahkan, kata Marayana, untuk menentukan
kapan pertemuan Saraswati dan Nyepi akan bertemu kembali itu sangat
sulit. Sebab, setelah 100 tahun lagi, rotasi purnama dan tilem akan
meningkat sehari. Jadi, setelah 100 tahun, tilem akan berada di hari
Kamis, atau dua hari sebelum Saraswati. "Dalam siklus setelah 100 tahun
pun belum tentu ketemu lagi. Karena posisi tilem setiap 100 tahun akan
bergeser. Setiap 100 tahun, tilem naik sehari. Setelah Jumat menjadi
Kamis dan seterusnya. Nah, untuk mencari tilem jatuh pada hari Jumat dan
pas sasih kesanga, sangat sulit bertemu lagi, apalagi dalam waktu
setelah 100 tahun lagi," katanya.
Perhitungan wariga ini berdasarkan ilmu
pangelantaka yaitu sistem penentuan purnama tilem di Bali yang bersumber
dari lontar pengalihan purnama tilem dan perlu dikaji lebih dalam.
Dengan ilmu pangelantaka, posisi purnama tilem ditentukan dalam kurun
waktu 100 tahun berpatokan dengan Eka Dasa Rudra. Setelah 100 tahun
baru, purnama tilem berganti lagi, naik sehari. Dalam hal ini, purnama
tilem ditentukan oleh candra pramana yaitu sistem bulan. Sedangkan Nyepi
ditentukan oleh surya candra pramana, perhitungan antara peredaran
bulan dan matahari. Sedangkan Saraswati berdasarkan kalender pawukon.
Meski belum bisa ditentukan kapan akan
bertemu lagi Saraswati dan Nyepi, namun ada hari raya yang akan bertemu
lagi dengan Nyepi pada siklus 100 tahun ini. Hari raya itu adalah
Pagerwesi, pada tahun 2064. "Nyepi akan bertemu dengan Pagerwesi hari
Rabu, 19 Maret 2064. Tilem kesanga akan berlangsung 18 Maret 2064,
kemudian Rabu Pagerwesi tahun itu akan bertemu Nyepi. Itu pun sekali,"
tandasnya.
Source: nusabali.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar