Sembahyang |
Pemujaan terhadap leluhur merupakan bagian penting dari agama-agama Timur. Mengapa demikian? Segala sesuatu memang berasal dari Tuhan. Tuhan adalah penyebab materi (tubuh dan jiwa kita berasal dariNya) dan penyebab efisien (bentuk tubuh kita sedemikian rupa sehingga sesuai dengan peruntukkannya). Namun tanpa orang tua, kita tidak hadir di dunia ini. Demikian pula orang tua kita terhadap orang tuanya. Oleh karena itu pemujaan leluhur adalah suatu kewajiban mulia (yadnya):
”Ketika seorang manusia lahir
siapapun dia, bersamanya telah
lahir satu hutang kepada Tuhan dan para Dewa,
kepada maharesi, kepada leluhur,
dan kepada manusia.”
”Dan ketika ia menginginkan keturunan
maka ini berkaitan dengan hutang
kepada leluhur dan atas nama para leluhur itulah, oleh karenanya, dia bertindak,
sehingga keturunan mereka terus berlanjut,
tanpa gangguan”
(Yajur Veda, Satapatha Brahmana 1.7.2).
Memelihara leluhur dalam ingatan adalah bagian fundamental dari kehidupan dan praktik agama. Bahkan dalam jaman ketika keyakinan akan kehidupan sesudah mati masih jarang, peringatan atau pemujaan atas leluhur, dipraktikkan dengan sangat luas. Ritual dikembangkan untuk menjamin penghormatan yang wajar kepada para leluhur.
Dalam agama Kristen berkembang konflik mengenai kewajaran dari pemeliharaan hubungan dengan anggota keluarga yang sudah meninggal; karena itu sembahyang untuk leluhur, tampak bagi beberapa orang Kristen tidak sejalan dengan doktrin penyelamatan tunggal dari Yesus. Hal sama juga berlaku bagi Islam.
Namun demikian, di mana-mana, dari batu nisan sampai ritual yang rumit, agama-agama membuat jelas bahwa kematian tidak mengakhiri, tidak juga memutus hubungan atau ikatan keluarga. Perhatian kepada leluhur (pitra) di dalam agama Hindu menjadi tanggung jawab anak (putra) pertama. Upacara kepada leluhur disebut Sraadha (dibedakan dengan Sradha, satu ”a”). Sraadha merupakan persembahan air dan makanan (pinda) kepada leluhur. Persembahan ini adalah untuk membahagiakan para leluhur dan memungkinkan badan halus mereka (linga sarira) mengumpulkan phala yang membantu mereka melewati jalan punarbhawa dan mencapai moksha.
Dalam keyakinan orang Tionghoa, manusia memiliki dua jiwa. Yang satu bersifat spiritual (hun) yang terdiri dari yang, ch’i atau prana (daya hidup) dan ketika manusia mati jiwa ini naik ke sorga. Yang kedua bersifat fisik (p’o), terdiri dari yin dan ketika manusia mati, kembali ke bumi, menemui badan kasar ke dalam kubur. Sampai dewasa ini jiwa orang mati dihubungkan dengan dua tempat: hun di altar keluarga (di Bali merajan/sanggah) dan p’o di kuburan.
Sama seperti ketika masih hidup, dalam kematian pun para tetua dalam keluarga wajib memberikan penghormatan yang tinggi kepada leluhur (hsiao, merupakan kewajiban utama dalam keluarga). Bagi orang Afrika pemujaan roh leluhur merupakan bagian penting dari kehidupan agama mereka. Leluhur tidak diasingkan dari dunia tapi terus berhubungan dengan kehidupan keluarga. Para leluhur dianggap sebagai pelindung, dan tetap menjadi bagian keluarga, sampai setidaknya generasi ketiga. Sebagaimana mereka menghormati anggota keluarga yang hidup demi ketertiban dan keselarasan, demikian pula mereka seharusnya terhadap anggota keluarga yang sekarang sudah menjadi leluhur. Hal ini menjadi pendorong yang kuat bagi penghormatan terhadap mereka yang berusia tua, karena hal ini dekat dengan leluhur, dalam usia, pengalaman dan kebijaksanaan.
Pemujaan leluhur adalah tradisi keagamaan yang bersifat universal. Memang ada agama yang melarang pemujaan leluhur karena dianggap bertentangan dengan doktrin dasarnya, yang memusatkan seluruh pemujaan hanya kepada Tuhannya saja. Anak-anak tidak jatuh dari langit, dan tidak disusui oleh malaikat. Mereka lahir dari dan dibesarkan orang tua mereka. Tuhan (menurut) Hindu menghargai peran serta manusia di dalam proses penciptaan dan pemeliharaan. Oleh karena itu pemujaan terhadap leluhur adalah sebuah kewajiban mulia. Mengabaikan kewajiban itu adalah tanda ketiadaan terima kasih, bahkan kedurhakaan.
Sumber : Ngakan Putu Putra
Tidak ada komentar:
Posting Komentar