I. Pendahuluan.
Politik adalah cara kita mengelola suatu organisasi secara epektif dan episien agar tercapai tujuan yang dicita-citakan. Semakin besar suatu organisasi semakin besar pula kecenderungan berkonplik diantara pengurus-pengurunya. Jika organisasi besar, maka struktur organisasi dengan sendirinya juga besar. Selanjutnya, struktur yang besar, akan mempengaruhi jumlah personil yang mengelola organisasi tersebut. Disini diperlukan sumber daya manusia (SDM) yang memadai, baik dari segi kualitas maupun kuantitas. SDM memegang peranan yang sangat penting bagi maju mundurnya suatu organisasi. Ibarat pepatah, “dibalik sukses seorang suami, ada seorang istri yang kuat” seperti itu pula, “dibalik sukses sebuah organisasi, ada SDM yang kuat”. SDM ini merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi kegiatan organisasi. Kalau organisasi semakin besar dengan strukturnya yang besar pula, maka mengelola organisasi tersebut, juga semakin rumit dan kompleks. Akibatnya, untuk mencapai tujuan organisasi yang dicita-citakan, juga semakin berat dan kompleks.
Dalam Susastra Politik Hindu, organisasi yang dimasudkan adalah negara atau yang lebih konkrit lagi adalah Pemerintah. Pemerintahan dibagi dalam divisi-divisi atau kementeriaan. Setiap kementerian mempunyai struktur yang sama. Kecuali kementeriaan yang bersifat khusus harus diperlakukan secara khsus. Misalnya, kementerian yang menangani masalah sosial, harus diperlakukan secara khusus karena ia langsung berhubungan dengan rakyat.
Tujuan dari politik Hindu adalah untuk melenyapkan kegelapan dunia dan melenyapkan penderitaan rakyat. Pemerintah harus memuaskan rakyat kecil sebagai manifestasi dari memuaskan Tuhan Yang Maha Esa. Sedemikian luhur tujuan politik Hindu, maka raja (pemimpin) harus didampingi oleh menteri-menteri yang profesional, agar seorang raja dapat mewujudkan cita-cita luhur tersebut. Maharaja Dasaratha, dalam Ramayana Valmiki dikatakan, memiliki delapan menteri. Mereka adalah Dhrsti, Jayanta, Vijaya, Surastra, Rastrawardhana, Akopa, Dharmapala dan Sumanta. Dasarata juga memiliki menteri lain, seperti Suyajna, Jawali, Kasyapa, Gautama, Markandeya dan Katyayana. Menteri ini dikatakan mempunyai dua keluarga resi yang mencintainya, yaitu Vasistha dan Vamadewa.
Dalam kontek pembangunan politik, lebih lagi dalam arti luas, dalam kontek kesadaran Dharma Nagara, pendidikan politik bagi mahasiswa dan generasi muda Hindu sangat dibutuhkan. Tetapi bukan politik praktis, melainkan adanya kesadaran politik. Kesadaran politik artinya kesadaran untuk mengerti ilmu politik dan trik-trik partai politik sehingga kita tidak mudah dibohongi oleh tujuan politik yang jahat. Kesadaran politik juga berarti menegakkan prinsip-prinsip kebenaran ditengah-tengah politik uang yang mewarnai perpolitikan kita dewasa ini. Sebab dharma Agana dan Dharma Nagara merupakan satu kesatuan utuh yang tidak bisa dibagi-bagi lagi.
Karena itu, materi politik perlu direncanakan, dilaksanakan dan dievaluasi, melalui kurikulum pendidikan tinggi agama Hindu. Dimasukkannya materi politik dalam kurikulum pendidikan tinggi agama Hindu, akan merupakan sesuatu yang menggairahkan, karena selama ini potilik dianggap tabu dibicarakan dikalangan Mahasiswa agama Hindu.
2. Canakya Niti Shastra
Sri Cānakya Pandita (350–283 SM) adalah seorang penasehat maharaja Maurya pertama, Chandragupta (340–293 SM), dan kepala arsitek pada masa kejayaannya. Kautilya dan Vishnugupta, nama yang dikenali sebagai Canakya, adalah penulis Arthaśāstra dan juga Niti Shastra. Canakya dianggap sebagai pelopor ilmu politik dan ekonomi India. Di Dunia Barat, dia dijuluki "Machiavelli India", meskipun karya Canakya mendaului Machiavelli sekitar 1.800 tahun. Canakya adalah seorang guru di Takṣaśila, pusat pembelajaran kuno, dan berperan penting dalam pendirian Kemaharajaan Maurya. Canakya mencapai ketenaran lebih dari 2300 tahun untuk dua alasan. Pertama tulisannya dalam bahasa Sanskerta tentang politik, dan kedua ia seorang menteri profesional yang mengabdi kepada raja Chandragupta Maurya, yang menaklukkan hampir seluruh India.
Tulisannya, Artha-shastra adalah karya terbaik, dan diterbitkan dalam banyak edisi bahasa Inggris. Sebagaimana yang tercermin melalui judulnya, Artha-shastra adalah buku tentang ‘perkembangan ekonomi’ (economic development) yang harus dipelajari oleh raja-raja dan pendeta Istana. Beberapa topik yang dibahas adalah: kewajiban raja, kualitas menteri-menteri, pembagian wilayah (formation of villages), Pajak (tax collection), hukuman yang tepat bagi penjahat, pelatihan mata-mata (training of spies), pernyatakaan perang dan damai, dan melindungi penduduk.
Sedangkan Niti Shastra adalah karya ‘pendeta kerajaan’ kedua yang sangat terkenal. Niti umumnya diterjemahkan sebagai “ilmu pengetahuan moralitas” (the science of morality), "hal-hal umum", "expediencey" atau "ethics". Disini Sri Chanakya Niti-shastra mengajarkan segala kebijaksanaan yang bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari berhubungan dengan keuntungan. Dengan kata lain, Chanakya disini mengajarkan kepada kita, bagaimana menjadi berbahagia dalam kehidupan duniawi.
Pada suatu jalan pagi dengan murid-muridnya, Srila Prabhupada dikutip oleh seorang penyembah perempuan, mengatakan, “Chanakya Pandit mestinya seorang pengyembah yang hebat”. Srila Pabhupada menjawab, “Tidak, ia hanya seorang politisi”. Ini dapat dikatakan bahwa Canakya memiliki kemampuan luar biasa untuk mengalahkan musuh-musuhnya pada setiap langkah dan untuk membimbing rajanya guna mengumandangkan kemenangan, menyebabkan namanya terkenal sebagai salah satu pemikir politik yang sangat terkenal dalam sejarah. Sampai sekarang di ibu kota India New Delhi, komplek perumahan diplomatik masih memakai namanya: Chanakya Puri.
Sarjana Inggris Dr. F.W. Fleet menulis, "Kautilya (Chanakya) terkenal tidak saja sebagai king-maker, tetapi juga terkenal sebagai lambang kebesaran India untuk seni pemerintahan, kewajiban raja, menteri dan official-official, dan metode diplomasi”. Kami mengatakan bahwa East India Company memaksa British officers untuk mempelajari tulisan-tulisan Sri Chanakya Pandit jika mereka berharap semuanya akan sukses memerintah di India.
Di dalam Artha-shastra, Chanakya Pandit mengidentifikasikan dirinya sendiri sebagai orang yang bertanggung jawab atas penggulingan dinasti Nanda yang korup dari Magadha (sekarang propinsi Bihar di India utara). Disini diberikan keterangan singkat bagaimana ia berperan dalam peristiwa tersebut.
Sekitar 2300 tahun lalu, penakluk Inggris Alexander yang agung menyerbu anak benua India. Serangannya terhadap tanah yang terpecah menjadi kerajaan-kerajaan kecil Hindu membuktikan kesuksesan besar karena penguasa memisahkan kerajaan-kerajaan kecil itu. Adalah Chanakya Pandit yang, merasakan penderitaan mendalam di hatinya, mencari dan menemukan memimpin yang memenuhi syarat di dalam diri seorang Chandragupta Maurya. Meskipun dasi-putra, yaitu, seorang putra dari seorang pelayan wanita oleh raja Nanda dari Magadha, Chandragupta sangat cerdas, berani dan secara phisik sangat kuat. Chanakya peduli sedikit bahwa melalui kelahirannya ia seharusnya tidak berani mendekati tahta kerajaan. Chanakya, orang bijaksana, hanya menginginkan bahwa seorang raja yang memiliki kemampuan luar biasa akan mengangkat raja yang meninggalkan posisinya yaitu raja Magadha, dengan demikian serangan yang dilancarkan oleh Yavana (Inggris) akan menjadi menjijikan.
Dikatakan bahwa Chanakya secara personal tersinggung oleh raja Nanda, dan brahmana yang sangat kuat ini telah bersumpah untuk membiarkan shikka yang pangjang tidak diikat sampai dia melihat kehancuran raja yang menghinanya dan permaisurinya yang pemabuk. Melalui sumpah ini, Chanakya Pandit setelah melalui rekayasa kematian yang cepat untuk orang yang terdegradasi dan raja tidak bernilai Nanda Dinasti bahwa brahmana agung ini dapat mengikat kembali rambutnya. Ada beberapa versi berkaitan dengan cara yang tepat Chanakya menghilangkan raja Nanda, dan bagi sejarahwan menemui kesulitan untuk membedakan fakta dari cerita rakyat sebagai tuntutan dari rincian specific tertentu.
Setelah Nanda jatuh, ini menjadi mudah bagi Chandrgupta untuk memenangkan semangat rakyat Magadha, yang merespon dengan hangat pahlawan mereka yang baru dan raja muda yang ganteng. Raja-raja dari kerajaan tetangga bernaung di bawah kekuasaan raja Chandragupta, dan kerajaan terakhir dari Inggris yang dipimpin oleh Jenderal Alexader berhasil dikalahkan.
Dengan dua hambatan dari Nanda dan tentara alexander, Chanakya Pandit menggunakan setiap divisi politik dan tipu daya kerajaan untuk menyatukan bagian besar anak benua India. Dibawah Perdana Menteri Chanakya, raja Chandragupta Maurya menaklukan seluruh India sampai Iran di Barat Daya dan wilayah Karnataka di propinsi Mysore di Selatan. Dengan akalnya sendiri brahmana yang kurus dan berpakaian sederhana ini mengarahkan pembentukan kerajaan di anak benua India yang besar yang tidak pernah dilakukan dalam sejarah sebelumnya. (yaitu sejak awal Kali Yuga). Sejak itu kebudayaan asli Veda dari tanah suci Bharata dilindungi, dan prektek spiritual Hindu berkembang pesat.
Meskipun banyak sarjana terkenal dari ilmu pengetahuan niti, seperti Brihaspati, Shukracharya, Bhartrhari dan Vishnusharma, yang mengutip banyak perintah dari Niti ke dalam karyanya sendiri yang terkenal, tapi barangkali inilah jalan Chanakya menerapkan pengajaran Niti-shastra yang membuatnya menjadi figur sangat terkenal dalam sejarah. Seorang Pandit yang sangat terkenal mengajarkan kita bahwa cita-cita mulia menjadi suatu kenyataan jika kita bekerja dengan cerdas untuk mencapai tujuan disertai dengan tekad, sikap yang peogresif dan tindakan yang praktis.
Dr. R. Shamashastry, penerjemah Inggris versi Kautilya Artha Shastra, mengutip prediksi dari Visnu Purana (fourth canto, twenty-fourth chapter) berkenaan dengan kemunculan Chanakya Pandit. Prediksi ini, dicatat 50 abad yang lalu, hampir 2700 tahun sebelum politik sekarang ini yang sangat berat dan tujuan manusia ditakdirkan untuk terungkapkan. Prediksi tersebut mengimformasikan: “(pertama) Mahapadma, kemudian anak-anaknya – hanya sembilan jumlahnya – akan menjadi pemimpin dunia selama seratus tahun. Seorang Brahmana namanya Kautilya akan membunuh raja Nanda. Pada kematiannya, dinasti Maurya akan menikmati Dunia. Kautilya sendiri akan menempatkan Chandragupta pada tahta. Anaknya adalah Bindusara, dan anaknya Ashokawardhana.” Cerita yang sama juga disebutkan di dalam Bhagawata Purana, Vayu dan Matsya Puranas.
Didalam Artha Shastra, Chanakya Pandit menggunakan nama Kautilya sebagai pengarangnya. Sedangkan didalam Niti Shastra ia menggunakan nama Chanakya Pandit. Kedua nama ini, yaitu Kautilya dan Canakya Pandit, adalah nama untuk satu orang. Tetapi dalam kedua karya tersebut, karakter tulisannya sangat bertolak belakang. Dalam Artha Shastra yang berlatar belakang politik, Kautilya mengeksploitasi wanita untuk tujuan politik. Hal ini bisa disaksikan dalam sejarah raja Mugal yang menggunakan “wanita dengan gigi beracun” untuk menggigit lawan politiknya, dalam rangka untuk mencapai tujuan politiknya. Sedangkan dalam Niti Shastra, yang berlatar belatar moralitas dan etika, Chanakya Pandit memberi penghormatan yang besar kepada Wanita. Ia mengatakan, tidak ada dewa yang lebih patut dihormati dari pada seorang wanita atau ibu.
Sebagai karya yang mengandung ajaran moralitas, Chanakya memberi tuntunan, semacam guide-line, bahwa kalau menteri hidup mewah dan tinggal di rumah mewah, rakyatnya pasti tinggal di gubuk-gubuk reot dan pasti menderita. Sebaliknya, kalau menterinya hidup sederhana dan tinggal di rumah yang sederhana, maka rakyatnya pasti akan makmur dan sejahtera. Bahkan, Chanakya Pandit mengatakan menteri-menteri harus bekerja dengan motivasi untuk mengabdi tanpa pamerih dan mencintai pekerjaannya bukan jabatannya.
Dakam Karyanya, Artha Shastra, Kautilya kadang menggabungkan antara moralitas dan Politik. Misalnya, ia mengemukakan teori tentang Ikan besar (fish law) dan mengatakan “ikan besar memakan ikan kecil.” Teori yang dikemukakan Kautilya ini dapat mewakili pemikiran Hindu tentang negara. Berdasarkan teori yang dikemukakan Kautilya, dapat dipahami bahwa alasan adanya negara adalah untuk melindungi kelompok yang lemah dari ancaman kelompok yang lebih kuat. Negara diperlukan untuk mencegah terjadinya hukum rimba, dimana kelompok yang kuat menindas kelompok yang lemah. Dalam konteks ini pemikiran Hindu tentang negara bersifat “struktur-fungsional”. Artinya, eksistensi negara harus mampu memberikan perlindungan atas seluruh kehidupan sosial (ekonomi, politik, budaya dll) warga negaranya, terlepas dari latar belakang masyarakat yang ikut bergabung ke dalam negara tersebut.
Berdasarkan teori Kautilya, dapat diartikan pula tanpa eksistensi negara—dalam bentuk kongkritnya adalah pemerintah--akan menimbulkan kekacauan atau anarki akibat tiadanya otoritas yang bertindak sebagai penengah bila terjadi pertentangan antar kelompok dalam masyarakat. Pendek kata, dalam pandangan Hindu, keberadaan negara merupakan syarat penting bagi kelangsungan hidup bermasyarakat.
Di Barat, pandangan tentang eksistensi negara baru muncul kembali melalui pemikiran-pemikiran Thomas Hobbes sekitar awal abad ke 17 setelah peradaban Barat hampir 1000 tahun mengalami masa kegelapan (dark ages) akibat dominasi paham teokrasi yang dipengaruhi oleh doktrin Kristiani. Hal ini disebabkan karena ilmu pengetahuan tidak berkembang. Konteks sejarah kelahiran pemikiran Hobbes ini karena di Eropa saat itu dilanda perang antar kelompok yang berkecamuk tiada hentinya, tak ubahnya seperti anarki sosial. Dalam karyanya Leviathan—mahluk laut yang besar dan menakutkan—pada intinya Hobbes membayangkan adanya sebuah penguasa politik yang mampu menertibkan kekacauan sosial yang terjadi dalam masyarakat.
2. Pemerintahan Ideal
Sistem pemerintahan ideal merupakan sebuah pemikiran yang selama berabad-abad menjadi bahan pemikiran dan perdebatan bagi para ahli politik, pembuat kebijakan dan insan-insan akademis dalam bidang politik. Setiap masyarakat sebuah peradaban selalu mendambakan sebuah sistem pemerintahan yang bersih dan mensejahterakan rakyat. Untuk itu dibutuhkan sebuah sistem dan sub sistem yang efisien, ekonomis, etis dan adil serta memihak pada rakyat. Untuk mewujudkan pemerintahan yang seperti itu, segala unsur pemerintahan harus akuntabel dan bertanggung jawab terhadap tugas-tugasnya. Impian terhadap pemerintahan yang bersih dan pro rakyat ini selama berabad-abad telah menjadi sebuah ideal sekaligus standar evaluasi bagi pemerintahan yang sedang berlangsung. Perdebatan akademis mengenai pemerintahan ideal selama ini hanya berkiblat kepada konsep-konsep barat tentang pemerintahan ideal. Namun ternyata pemikiran- pemikiran sebelum era barat yaitu pada era Hindu telah banyak disumbangakan oleh ahli-ahli politik Hindu pada zamannya. Salah satu diantaranya yaitu Artha Shastra karya seorang ahli dan pelaku politik Hindu yaitu Resi Kautilya yang akan menjadi pokok bahasan dalam makalah ini. Kitab ini dapat memberi sebuah pemahaman awal tentang politik dan model pemerintahan yang ideal pada masa kejayaan Hindu.
Pada bab awal kitab Arthashastra, Kautilya mengklaim bahwa risalah yang ditulisnya ini adalah merupakan hasil pemikiran dan penelitian mendalam dan sistematis dari berbagai literatur akademis maupun pengamatan langsung terhadap bukti-bukti empiris berupa kerangka teoritis politik yang dijalankan oleh pemerintah. Arthashastra adalah sebuah buku panduan dasar bagi kaum pemerintah dan sebuah manual bagi seorang politikus. Pada sebagian besar risalahnya, Kautilya menjelaskan secara spesifik tetang kegunaan dan pentingnya sebuah prosedur administrasi yang telah lulus uji. Sebuah prosedur yang diajukan oleh Kautilya sebagai sebuah indikator bagi pemerintahan yang ideal yang hingga saat ini masih tetap relevan pada sosio politik dan budaya yang ada di India. Penjelasan Kautilya sesuai dengan Samhita pada Yajurveda tentang tugas dan kewajiban seorang raja kepada rakyatnya. Pada zaman kerajaan dimana seorang raja adalah penguasa mutlak dan otoritas tertinggi, Arthashastra tetap berpendapat bahwa seorang raja adalah abdi bagi rakyatnya. Seorang raja harus menjauhkan diri dari rasa suka dan tidak suka dan bersikap adil kepada seluruh rakyatnya. Sebaliknya rasa suka dan tidak suka rakyatnyalah yang harus diperhatikananya. Dalam Arthashastra dikatakan bahwa setelah para dewa pergi meninggalkan dunia ini karena telah gagal dalam usaha mereka untuk menegakkan aturan peraturan dengan cara-cara penuh kasih sayang, mereka lalu memberikan tugas itu kepada seorang raja yang berasal dari bangsa manusia setelah menerima berkah dari dewa dewa seperti Candra, Surya, Indra, Wisnu, Kubera, dan Yama berupa sifat-sifat keindahan, kecemerlangan, kecerdasan, kejayaan, ketidak terikatan serta pengendalian diri. Ketika ia berkeras untuk membuat hukum (dharma) yang akan membantunya dalam menjalankan tugasnya sebagai pelindung rakyatnya maka para dewa-pun lalu menciptakannya dalam sekejap apa yang lalu dikenal dengan nama danda (aturan yang sifatnya memaksa). Seorang raja bahkan diharuskan untuk menjatuhkan danda kepada ayahnya sekalipun jika memang berbuat kesalahan (Ghoshal, 1959: 39). Hal ini membuktikan bahwa keluarga raja tidak memiliki imunitas terhadap hukum meskipun ia adalah pemegang otoritas tertinggi. Dengan adanya danda ini maka pembagian kesejahteraaan dan keadilan dapat dilakaukan secara merata bagi seluruh masyarakat dari segala lapisan demi tercapainya kesejahteraan dan kemajuan dalam bidang material dan spiritual. Ajaran mulia resi Canakya ini masih relevan di era demokrasi saat ini.
Dalam perenungan tentang pemerintahan ideal, Arthashastra mengajarkan bahwa seorag raja hendaknya mendahulukan kepentingan rakyat dan kerajaannya daripada kepentingan pribadinya. Seorang raja adalah panutan bagi rakyatnya ia haruslah menjadi orang yang paling bijaksana di kerajaan tersebut. Arthashastra meyatakan bahwa: “Kebahagiaan seorang raja terletak pada kebahagiaan rakyatnya, kesejahteraaan mereka adalah kesejahteraan raja, apa yang menjadi kesenagan raja bukanlah sesuatu yang baik, akan tetapi kesenangan rakyat adalah tujuan utama”.
Praja sukhe sukham rajah prajanam ca hite hitam
Natma hitam priyam rajah prajanam tu priya hitam
(Kautilya Arthashastra Book I ch XIX p 39).
Kita bisa mengatakan bahwa seorang raja adalah pelayan konstitusi. Raja adalah pelayan bagi rakyatnya. Tujuan raja adalah tujuan rakyat. Sepenuhnya menyatu tak terpisahkan. Hal ini mengindikasikan bahwa kekuasaannya tidak absolut, arbitrasi ataupun otoriter. Pemerintahan yang baik harus memberikan batasan dan pengendalian bagi kaum pemegang kekuasaan. Arthashastra, menjelaskan bahwa seorang raja harus diatur oleh tujuh elemen pemerintahan (sapta angga) yang terdiri dari: (1) Swami (raja), (2) Amatya (mentri), (3) Janapada (masyarakat), (4) Durga (benteng kerajaan), (5) Kosha (bendahara negara), (6) Danda (tentara), (7) Mitra (sekutu).
Menurut Kautilya sebuah kedaulatan hanya bisa didapatkan dengan kerjasama dari seluruh elemen. Semua kebijakan administratif harus diambil setelah dipertimbangkan dengan matang. Kemampuan seorang raja diukur dari seberapa hebatnya dalam memotivasi bawahannya dan mengkoordinir semua elemen yang ada dibawahnya sehingga mengjhasilkan kebijakan-kebijakan yang adil dan dapat dijalankan dengan baik oleh raja. Pemerintahan yang baik menurut Arthasastra memberi kontrol pada seluruh elemen baik itu pemerintah, politik dan masyarakat. Menurut Resi Kautilya, ketika rakyat menjadi miskin maka mereka akan menjadi rakus, ketika mereka menjadi rakus maka mereka tidak bisa dipuaskan, ketika mereka tidak puas maka mereka akan bergabung dengan sukarela kepada musuh dan menghancurkan raja mereka sendiri, oleh karena itu sangat penting seorang raja untuk ridak membiarkan rakyatnya hidup dalam kemiskinan. Melihat hal ini Mehta berpendapat bahwa Kautilya menginginkan seorang raja yang kuat akan tetapi ada keraguan apakah sesungguhnya Kautilya setuju dengan kekuasaan absolut raja (Manohar, 1992: 91-93).
Dalam bidang administratif, Arthashastra menganjurkan diadakannya seleksi bagi calon-calon pekerja administratif kerajaan meliputi: kecerdasan, kesetiaan, kebijaksanaan, kejujuran, patriotisme dan kelahiran dalam keluarga yang terhormat. Seorang Amatya (pegawai pemerintahan) harus lulus empat macam tes yaitu: sifat-sifat mulia, kekayaan, kesenangan dan keberanian. Ujian ini dilakukan secara rahasia para calon pegawai tidak akan menyadari bahwa dirinya sedang diuji dengan menggunakan agen-agen rahasia. Keempat jenis ujian ini adalah untuk empat macam posisi. Yaitu masing-masing: menteri, bendahara, seni budaya dan kerajinan dan tentara.
Menurut Arthashastra, tugas seorang raja adalah untuk membina moral rakyatnya, penegak hukum dan kewajiban, serta memastikan bahwa segala aturan dan peraturan serta kebijakan yang dittapkan dalam masyarakat berjalan dengan harmonis tanpa ada pertentangan atau ketimpangan antara satu dengan yang lainnya. Jika rajanya penuh semangat maka rakyatpun akan menjadi bersemangat. Raja yang gegabah dengan mudah dijatuhkan oleh musuh-musuhnya karenanaya sorang raja harus selalu waspada.
Arthashastra juga mengilustrasikan tentang gaji serta tunjangan bagi raja serta pegawai pemerintahan yang harus tetap dan masuk akal. Seorang raja menurut Kautilya adalah seorang pelayan masyarakat yang harus diberikan gaji yang sesuai dengan pekerjaannya. Tunjangan bagi anggota keluarga raja juga harus jelas dan tetap serta tidak dapat dinaikkan tanpa ada persetujuan dari para pemegang kebijakan. Kautilya bahkan menyatakan bahwa gaji seorang raja tidak dapat dinaikkan, namun gaji anggota keluarga raja dapat dinaikkan melalui persetujuan mantriparishad.
Pemikiran-pemikiran prinsip tentang administrasi pemerintahan yang telah dituangkan kedalam kitab Arthashastra oleh resi Kautilya 2300 tahun yang lalu memiliki kesamaan yang amat dekat dengan apa yang kita anut di jaman moderen tentang negara yang ideal dalam hal ideologi, ideal, fungsi, tugas, kewajiban, sosial, administratif dan lain-lain. Prinsip-prinsip sebuah pemerintahan dan politik yang ideal menjadi fokus utama dalam pemikiran-pemikiran resi Kautilya yang tertuang dalam Arthashastra. Hal pertama yang harus dilakukan seorang raja sebelum ia memegang kekuasaan adalah: menaklukkan dirinya sendiri, untuk menghindari kelobaan, penipuan dan keserakahan, menampilkan kecerdasan, keterampilan dan pengendalian diri, bertindak dengan musyawarah dan sebagainya. Kepentingan raja sepenuhnya menyatu dengan kepentingan rakyatnya tugas utama raja adalah membebaskan rakyat dari rasa takut dan kemiskinan. Raja disarankan untuk terus mengadopsi perilaku wanita hamil: sebagai ibu ia mengabaikan dirinya sendiri demi kebaikan anak dalam rahimnya. Demikianlah seharusnya raja bersikap terhadap rakyatnya; raja yang benar harus ikhlas mengorbankan apa yang paling disayanginya demi kepentingan dan kesejahteraan rakyatnya. Arthashastra mendefinisikan konsep kepentingan bersama menurut Hindu yang harus dilakukan oleh seorang raja yang baik yaitu kejesahteraan bagi semua dan ketersediaan bagi semua.
Dalam Arthashastra, kita menemukan pemikiran yang paling sistematis dari teori India kuno tentang pemerintahan berkaitan dengan topik seperti hubungan raja dengan unsur-unsur pemerintahan dalam sebuah struktur negara, skema pelatihan bagi calon raja berdasarkan pengembangan kecerdasan dan karakter secara simultan, sistem rekrutmen dan seleksi pejabat, teknik musyawarah atau permintaan pendapat oleh raja pada para menterinya dibuat berdasarkan pada analisis yang jelas tentang nilai dan ditetapkan juga syarat-syarat tertentu bagi sebuah musyawarah, dan yang tak kalah penting, organisasi sipil dan pemerintahan militer didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan seperti kecenderungan penyalah gunaan kekuasaan dan korupsi.
Semua ini menunjukkan bahwa sistem pemerintahan ideal menurut Kautilya cukup modern dalam hal konsep dan sesuai dengan juklak sistem pemerintahan moderen. Oleh karena itu, secara alamiah, persepsi dan tulisan-tulisannya telah menarik perhatian tidak hanya para peneliti akademis, tetapi juga banyak pemikir moderen, pengamat administratif negara maupun kaum politikus. Prinsip-prinsip pemerintahan ideal yang diajarkannya secara filsafat, prinsip, nasihat dan saran sangat sesuai dengan apa yang terkandung dalam dua epos kuno, Ramayana dan Mahabharata, memiliki relevansi yang cukup besar bahkan hari ini dalam hal prinsip-prinsip dasar penyelenggaraan negara dan pemerintahan. Kami menemukan bahwa sebagian besar fitur dasar konsep modern tata kelola yang baik, daya tanggap pemerintah, efisiensi administrasi, kesejahteraan dan kemakmuran rakyat, pengembangan politik, kualitas hidup yang baik, kemajuan etika dan ekonomi kemakmuran - sudah mendapat tempat yang menonjol dalam proses berpikir dan struktur administrasi yang didalilkan oleh Kautilya dalam Arthashastra nya. Tujuan utama dari pemerintah telah digambarkan dengan jelas yaitu kebahagiaan rakyat. Semua tujuan-tujuan lain adalah sekunder. Hal ini tidak hanya menunjukkan perhatian besar dari para filusuf pada kesejahteraan masyarakat tetapi juga memberikan sumbangan pemikiran bagi dunia akademis tentang sebuah Model pemerintahan yang baik dan ideal menurut Hindu.
3. Kesadaran Politik
Tujuan memasukkan susastra politik agama Hindu dalam Kurikulum pendidikan agama Hindu di Perguruan Tinggi ialah untuk menumbuhkan kesadaran politik di kalangan mahasiswa Hindu. Dengan kata lain, bukan untuk menjadikan mahasiswa terjun ke kancah politik praktis. Walau kedua tujuan itu dapat saja terpenuhi sekaligus melalui pembelajaran politik. Sebab politik praktis, mempunyai perangai yang sangat berbeda dengan pembelajaran politik. Politik praktis menekankan pencapaian kekuasaan dengan segala cara. Karena itu politik praktis penuh dengan intrik, menjelek-jelekkan lawan politik, kebohongan, tipu menipu.
Sedangkan pembelajaran politik kepada mahasiswa dimaksudkan untuk menumbuhkan kesadaran politik, yaitu kesadaran bahwa mengelola suatu organisasi atau suatu negara memerlukan orang-orang yang ahli dibidangnya atau profesional dalam rangka mewujudkan cita-cita bersama. Disini sumber Daya Manusia (SDM) yang profesional memegang peranan yang sangat penting. Sukses dan kegagalan suatu organisasi tergantung pada SDM berkualitas. Ibarat pepatah, “dibalik sukses seorang suami ada seorang istri yang kuat” demikian juga, “dibalik keberhasilan suatu organisasi ada sumber daya manusia yang sangat kuat.” SDM ini bertugas merencanakan, melaksanakan dan mengevaluasi suatu kegiatan organisasi atau lembaga-lembaga politik.
Kesadaran politik yang tumbuh pada mahasiswa pada akhirnya dimaksudkan untuk menghindarkan mahasiswa atau masyarakat secara keseluruhan dari praktek-praktek politik kotor para agen politik praktis. Dengan kesadaran politik, dimaksudkan agar mahasiswa dapat menegakkan prinsip-prinsip kebenaran politik berdasarkan pembelajaran politik sehingga mahasiswa atau masyarakat secara keseluruhan dapat menyelamatkan dirinya.
Dalam praktek politik kadang-kadang digunakan istilah naya yang berarti kebijaksanaan. Tapi dalam arti politik, kebijaksanaan itu diartikan “licik”. Arjuna diperintahkan oleh Krisna untuk memanah Karna ketika Karna dalam keadaan kurang siap karena roda keretanya masuk kedalam lumpur. Demikian juga Bima atas perintah Krisna memukul Duryodhana dengan Gada dibawah pinggangnya. Padahal aturan perang yang disepakati tidak membenarkan memukul lawan di bawah pinggang. Dua contoh ini adalah contoh mengenai naya. Naya ada di dalam dharma, dia dinyatakan tidak melakukan dosa karena ia menggunakan naya.
Susastra politik Hindu jumlahnya sangat banyak. Tidak hanya Arthashastra dan Canakya Niti Shastra. Mahabharata dan Ramayana juga masuk dalam kelompok Susastra Hindu. Agar tumbuh kesadaran politik di kalangan mahasiswa Hindu, susastra politik Hindu ini perlu dimasukkan ke dalam kurikulum. Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran, serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan.
Pokok-pokok pikiran yang perlu dimasukkan dalam kurikulum, seperti diajarkan dalam Artha Shastra, adalah meliputi: Anvikshaki, Védas Trayi, Várta (agriculture, cattle-breeding and trade), dan Danda-Niti (ilmu kepemerintahan) keempatnya disebut empat ilmu pengetahuan, dan tentu saja komunikasi politik.
4. Kesimpulan
Artha Shastra dan Canakya Niti Shastra adalah dua karya Kautilya atau Canakya Pandit yang terkenal yang membawa namanya dikenang dalam sejarah pemikiran politik India. Dalam kedua karyanya itu ia memperlihatkan perangai yang bertolak belakang. Dalam Chanakya Niti Shastra yang berlatar belakang moralitas dan ethika ia memuji semua wanita harus dihormati sebagai ibu dan tidak dewa yang lebih patut dihormati selain wanita (ibu). Sementara dalam Artha Shastra yang berisi pemikiran-pemikiran politik ia mengeksploitasi wanita sebagai alat untuk mencapai tujuan politik.
Kautilya selanjunya memperkenalkan pemikiran hukum ikan, yang besar menelan yang lebih kecil. Disini eksistensi negara menekankan fungsionalisasi dari negara itu – dalam bentuk kongkritnya adalah pemerintah – agar mampu melindungi dan mengatur ketertiban masyarakat. Ini berati Hindu mengakui pentingnya kedua entitas, negara dan masyarakat. Pemikiran Hindu tentang negara ini memiliki relevansi dengan teori-teori demokrasi yang meyakini pentingnya keberadaan negara dalam hubungannya dengan masyarakat. Tiada demokrasi tanpa negara.
Sistem pemerintahan ideal menurut Kautilya cukup modern dalam hal konsep dan sesuai dengan juklak sistem pemerintahan moderen. Seperti ditemui dalam Arthashastra, ada pemikiran yang paling sistematis dari teori India kuno tentang pemerintahan berkaitan dengan topik seperti hubungan raja dengan unsur-unsur pemerintahan dalam sebuah struktur negara, skema pelatihan bagi calon raja berdasarkan pengembangan kecerdasan dan karakter secara simultan, sistem rekrutmen dan seleksi pejabat, teknik musyawarah atau permintaan pendapat oleh raja pada para menterinya dibuat berdasarkan pada analisis yang jelas tentang nilai dan ditetapkan juga syarat-syarat tertentu bagi sebuah musyawarah, dan yang tak kalah penting, organisasi sipil dan pemerintahan militer didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan seperti kecenderungan penyalah gunaan kekuasaan dan korupsi.
Daftar pustaka
Daftar pustaka
- Kautilya. 1992. Arthashastra. Delhi: Penguin Book Limited.
- M.M. Shankhdhar. 1995. Foreword, in Ritu Kohli, Kautilya’s Political Theory: Yogakshewa-The Concept of Welfare State. New Delhi: Deep and Deep.
- R. Shamasastry. 1929. Kautilya’s Arthashastra. Mysore: Weslevan Mission Press.
- U.N. Ghoshal. 1959. A History of Indian Political Ideas. Bombay: Oxford University Press.
- P. Sharan, Ancient Indian Political Though and Institutions, Meenakshi Prakashan,
- V.R. Mehta. 1999. Foundations of Indian Political Thought. New Delhi: Manohar.
Prof. I Ketut Widnya, Ph.D.[1]
Artikel yang bermanfaat,sukses selalu yah orangnya juga blognya..
BalasHapusKalo ada waktu mampir dong keblog ku saya baru buat artikel tentang Prestasi Jokowi Selama ini Yang Wajib Di Ketahui