I. Pendahuluan
Pinandita adalah rohaniwan Hindu yang
tergolong ekajati. Tugas dan
kewajiban rohaniwan Hindu ekajati dibedakan dengan tugas rohaniwan Hindu yang bergelar dwijati. Rohaniwan Hindu yang bergelar ekajati biasanya mempunyai tugas dan kewajiban serta tanggung jawab
yang lebih kecil dibandingkan rohaniwan Hindu yang bergelar dwijati. Cakupan
upacara yang dipimpinnya juga relatih lebih kecil. Misalnya, dalam upacara
Manusa Yadnya dan Dewa Yadnya, tampak perbedaan itu sangat mencolok. Batas
kewenangan pinandita boleh memimpin upacara yang paling besar adalah upacara
yang menggunakan pulegembal.
Sedangkan kalau menggunakan bebangkit
sudah menjadi kewenangan pandita.
Demikian juga dalam upacara Butha Yadnya mulai dari panca sata sampai dengan
pecaruan merupakan kewenangan pinandita.
Sementara dari upacara manca sata sampai resi gana dan caru tawur merupakan
kewenangan pandita. Sementara dalam upacara Pitra Yadnya pinandita
mempunyai tugas-tugas yang berkaitan dengan upacara memendem (menanam) mayat.
Kalu menggunakan tirtha pengentas dan mekinsan biaya merupakan kewenangan pandita.
Seorang rohaniwan Hindu, baik ekajati maupun dwijati,
dia berkedudukan sebagai seorang brahmāna. Sebagai brahmāna ia harus mempunyai
sifat-sifat yang tenang, kemampuan mengendalikan diri, disiplin di jalan
spiritual, menjaga kesucian lahir dan batin, suka memberi ampun, kesederhanaan
lahir batin, juga memiliki pengetahuan dan kebijaksanaan serta keyakinan yang
kuat terhadap Tuhan Yang Maha Esa, kitab suci Veda dan lain-lain.
(Bhagavad-gita 18.42).
Tugas-tugas seorang Brahmāna sudah ditetapkan didalam sastra
Veda, yaitu yajan yājan pathan pāthan
dana pratigara, artinya, ada enam tugas seorang brahmana ialah: mengaturkan
yajna, mengajarkan cara membuat yajna/menghaturkan yajna atas nama orang lain,
mempelajari kitab suci Veda, memberi dana punia dan menerima dana punia.
Kebudayaan brahmāna adalah kebudayaan Veda yang mempunyai
nilai yang sangat tinggi. Mahatma Gandhi mengatakan, seseorang hendaknya
melakoni hidup sederhana dan berpikir tinggi. Hidup sederhana, menurut Gandhi,
adalah hidup sehari-hari sebagai seorang Vegetarian yang merupakan perwujudan
dari ajaran ahimsa dharma. Sedangkan berpikir tinggi adalah senantiasa berpikir
tentang Tuhan Yang Maha Esa. Jadi, seorang brahmāna adalah seorang yang sangat
sederhana dan selalu berpikir tentang Tuhan. Ia tidak boleh membunuh mahkluk
hidup manapun.
II.
Disiplin Diri dan Latihan Rohani
Tugas
dan kewajiban sehari-hari pinandita adalah melatih mendisiplinkan diri dan
melakukan latihan rohani. Dia harus bangun pagi sekali saat brahma-muhurta dan
mandi serta menyikat gigi dengan bersih. Brahma-muhurta adalah kelipatan waktu
24 menit dimulai jam empat pagi dan berakhir jam enam pagi. Kalau pinandita
ingin mendisiplinkan dirinya ia harus bangun diantara waktu brahma-muhurta
tersebut. Waktu ini juga disebut suddha-satvika karena ia adalah waktu yang
paling bertuah. Disebut bertuah karena semua para dewa turun dari alam dewata
dan memberikan berkatnya kepada semua mahkluk hidup yang bersembahyang pawa
waktu brahma-muhurta. Disini ada rahasia dan keajaiban alam yang hanya bisa
dimengerti dengan sembahyang.
Di antara rentang waktu brahma-muhurta
seorang pinandita harus mengisi waktunya dengan bersembahyang. Setelah waktu
brahma-muhurta lewat, atau setelah jam enam pagi lewat, dia boleh menggunakan
waktunya dengan bebas, atau bahkan dia boleh tidur. Disini perlu diberi
catatan: bahwa yang paling utama bagi seorang pinandita adalah bangun diantara
waktu brahma-muhurta. Biasanya orang mengalami kecapekan setelah bersembahyang
pada saat brahma-muhurta. Kecapekan ini biasanya dialami bagi mereka yang baru
melatih disiplin diri pada tahap awal. Atau, kecapekan itu bisa dialami bagi
mereka yang tidak mengikuti prinsip-prinsip brahmacarya. Langkah selanjutnya,
adalah menjadi seorang brahmacari dengan mengikuti prinsip-prinsip brahmacarya.
Seorang pinandita adalah seorang brahmāna sekaligus seorang brahmacari.
Setelah ini ia harus membaca kitab-kitab suci Veda. Ia harus
mengisi waktunya dengan belajar dan bertanya kepada seorang guru yang dapat
dipercaya. Ia harus belajar Weda, Itihasa dan Purāna. Juga belajar kitab suci
Sarasamuccaya. Menurut Kulārnawa Tantra ada tujuh jalan (cāra), yaitu: Vedācāra, Vaisnavācāra, Śaivācāra, Daksinācāra, Vāmācāra, Aghorācāra/Yogācāra, Kaulācārā. (Gauri Mahulikar, 2000: 11). Belajar Veda, Itihasa dan Purana, termasuk
Sarasamuccaya dan enam cabang ilmu pengetahuan termasuk jalan Vedācāra. Sedangkan Vaisnavācāra
merupakan kelanjutan dari belajar Veda, Itihada, Purana dll, dalam bentuk
penyucian diri. Selebihnya dari Śaivācāra
sampai Kaulācārā adalah wilayah Tantra.
Di antara tugas pokok yang paling menonjol
bagi seorang pinandita adalah memimpin pelaksanaan yadnya untuk orang lain.
Pelaksanaan-pelaksanaan persembahan korban suci, kedermawanan dan pertapaan
tidak patut ditinggalkan, sebaliknya semua kegiatan mulia itu, harus dilakukan,
karena pelaksanaan-pelaksanaan persembahan korban suci, kedermawanan dan juga
pertapaan, akan menyucikan, bahkan roh-roh yang mulia sekalipun. (Bhagavadgita
18. 5)
Disiplin diri menyangkut aturan dan peraturan yang harus
ditaati oleh Pinandita dengan ketat. Seperti melakukan tapa, brata, yoga dan
semadhi secara reguler. Sedangkan latihan rohani menyangkut persembahyangan
yang harus dilakukan pinandita sehari-hari. Hanya dengan melaksanakan tugas dan
kewajiban tersebut, pinandita akan berhasil mencapai Siddhi dan dia diberikan
gelar seorang Siddha.
Semua ini akan menuntun seorang pinandita menjalani “hidup
sehari-hari sebagai latihan rohani”. Setiap napas, setiap langkah, dan setiap
gerak, bagaikan tarian alam, yang akan dipersembahkan kepada Tuhan Yang Maha
Esa sebagai latihan rohani. Yang terpenting dalam kehidupan sehari-hari seorang
pinandita menjadikan tubuh, pikiran dan semua perasaannya, sebagai medium untuk
mencerap karunia Tuhan Yang Maha Esa. Hidup kita sangat pendek. Sastra Veda mengatakan,
kadi kedapning tatit, yaitu seperti
berpendarnya cahaya kilat, sangat pendek. Belum lagi untuk sakit, ngerumpi, dan
hal-hal yang tidak bermanfaat. Betapa pendeknya usia kita.
Walau usia kita pendek,
tetapi kalau dipersembahkan kepada Tuhan, maka kita bisa mencapai bhakti
yang murni, seperti sloka berikut ini mengatakan: sa vai pumsam paro dharmo, yato patir adoksaje, ahaituki apratiata,
yayatma suprasidhati. Artinya, dharma yang paling tinggi bagi manusa adalah
yang memungkinkan dia mengembangkan cinta kasih bhakti yang murni kepada Tuhan
Yang Maha Esa. Dharma itu hendaknya tanpa motif material dan dilakukan secara
terus menerus, untuk memuaskan sang atma secara sempurba (Bhagavata Purana I.
2.6). Dengan dharma maka segala sifat-sifat yang baik dari seseorang akan
meluap dalam kehidupan sehari-hari.
III. Pencapaian Siddhi
Kata Siddhi artinya
penuh. Orang yang mencapai siddhi adalah orang yang mencapai tingkatan
pengetahuan yang penuh yaitu pengetahuan atau jnana yang tertinggi atau
pengetahuan rahasia. Orang yang telah mencapai siddhi disebut siddha. Secara
teknis kata siddha berarti berhasil, yaitu berhasil mempraktekkan ajaran atau
faham siddhanta atau Siwasiddhanta. Di India kaum yang berhasil mempraktekkan
ajaran Siddhanta (Siwasiddhanta) biasanya disebut kaum Siddha. Di Indonesia,
kaum siddha itu, adalah pendeta atau para pendeta yang sudah dwijati. Ada
pencapaian tingkatan spiritual dalam hal ini, dimulai dari Wisesa yang adalah
Siwa, Siddhi adalah Sadhasiwa dan Sunya adalah Paramasiwa. Orang yang baru
mencapai tingkatan wisesa tidak bisa mencapai Sunya. Hanya seorang siddha yang
bisa mencapai Sunya. Sunya berarti kosong dan kosong berarti penuh. Karena itu
kosong dilambangkan dengan angka Nol. Dalam Buddhisme, kosong diwakili dengan
Nirvana. Tapi pengertian lain Nirvana adalah lenyapnya halangan, sehingga
lenyapnya halangan menimbulkan jalan yang lapang menuju tujuan. Sang Buddha
adalah guru suci yang melihat jalan pembebasan. Pada hari Nyepi kita menuju
sepi, menuju Sunya. Sunya adalah jalan pembebasan bagi para pendeta Siwa di
Indonesia. Di dalam Sunya ada pengetahuan tertinggi, pengetahuan penuh,
pengetahuan suci dan rahasia. Para pendeta menyatu kedalam pengetahuan rahasia
tersebut yang tidak lain dari keberadaan brahman. Inilah disebut monisme dalam
Adwaita Vedanta.
Seperti dijelaskan di depan, pinandita adalah rohaniwan Hindu
yang diinisiasi melaui diksa pertama sehingga dia disebut ekajati. Sedangkan
para pendeta adalah rohaniwan Hindu yang diinisiasi melaui diksa kedua sehingga
disebut Dwijati. Rohaniwan Hindu yang bergelar ekajati dan dwijati, tidak hanya
dibedakan kewenangannya, melainkan juga disiplin dirinya atau etika (sasana).
Diksa kedua hanya dimaksudkan bagi para pendeta yang mempelajari ilmu (jnana)
yang tinggi dan masalah-masalah kependetaan. Secara teknis, orang yang
di-diksa, hanya dia yang berhak menerima daksina. Dalam Siwaisme di Indonesia,
daksina mempunyai beberapa pengertian, diantaranya, selatan yaitu posisi Dewa
Brahma dalam pengider-ider bhuwana. Dewa Brahma dalam pengider-ider Bhuwana
mempunyai sakti adalah Dewi Saraswati yang merupakan Dewi Ilmu Pengetahuan.
Arti lain dari daksina adalah honor dan juga pemujaan. Jadi para pendeta
mempunyai kewajiban untuk mempelajari ilmu pengetahuan (Saraswati), atau
mengkonstruksi ilmu pengetahuan, menerima honor dan juga melakukan pemujaan.
Dalam faham Sivaisme
di Indonesia, upacara diksa adalah upacara yanga sangat berperanan penting
terhadap status dan kewenangan seorang pendeta. Sebagai pendeta yang sudah
di-diksa dia berhak “membuat” ilmu, yaitu mengkonstruksi ilmu āgama (kitab
āgama) yang berlaku dalam mazabnya sendiri. Dia tidak lagi belajar seperti
dalam kewenangan pinandita. Dia mengkonstruksi dan merumuskan ilmu dari ilmu
pengetahuan Weda menjadi kitab āgama, atau dari kitab-kitab vaisnawa menjadi siwaisme,
dan dari buddhisme menjadi sivaisme. Tugas ini hampir sama dengan tugas
profesor di perguruan tinggi, yaitu merekonstruksi dan merumuskan ilmu
pengetahuan, sehingga ilmu pengetahuan itu, menjadi keahlian dari sang
profesor.
Hanya seorang brahmana yang berhak menerima daksina. Ksatria,
Waisya, apalagi Sudra, tidak dibenarkan menerima daksina. Menerima daksina
adalah tugas yang dimiliki brahamana secara khusus. Tentang brahmana yang
mengetahui brahman dijelaskan dalam śloka berikut ini: janmanam jayate sudra, samskarat bawet dwija, weda patha bawet wipra,
brahman janatiti brahmana. Artinya, semua orang lahir sebagai sudra,
melalui samskara dia menjadi dwija, dengan mempelajari Veda dia menjadi wipra
(brahmana terpelajar), dan orang yang mengetahui brahman dia adalah seorang
brahmana. Disini dijelaskan siapa sesungguhnya brahmana. Brahmana adalah orang
yang mengetahui brahman. Itulah definisi brahmana. Dengan belajar Veda, seorang
brahmana menjadi brahmana terpelajar. Sebenarnya, kita semua lahir sebagai
sudra, dan melalui samskara kita menjadi dwija atau lahir kedua kali. Kelahiran
pertama adalah melalui kandungan ibu, dan kelahiran kedua melalui ilmu
pengetahuan dan samskara.
Kalau mengacu kepada
sumber kesusastraan di atas, jelas tugas brahmana adalah belajar Weda. Dalam
tradisi Hindu Indonesia, yang dominan menganut faham Siwasiddhanta, tugas
brahmana diangkat lebih tinggi menjadi “membuat” ilmu yaitu mengkonstruksi dan
merumuskan ilmu pengetahuan menjadi kitab-kitab āgama. Tugas “membuat” ilmu ini
berada pada wilayah Tantra, termasuk menerima diksa, dan mencapai siddha.
Persoalannya adalah, apakah pinandita dapat mencapai siddhi dengan melakukan
disiplin diri dan latihan rohani, seperti dijelaskan dalam bagian sebelumnya?
Sebenarnya disiplin diri dan latihan rohani, seperti bangun
pagi saat brahma-muhurta, mandi, sembahyang dan membaca kitab suci, berjapa,
serta belajar kitab suci weda, termasuk belajar kitab-kitab āgama, melakukan
tapa, brata, yoga dan samadhi, semuanya bersifat universal. Seorang pinandita
yang melakukan disiplin diri dan latihan rohani seperti itu, dapat mencapai
siddhi. Saya berkeyakinan, meskipun pencapaian siddhi itu berada pada wilayah
yang berbeda, yaiu wilayah Tantra, tetapi karena spiritual bersifat universal,
apa yang dilakukan pinandita, yang merupakan wilayah Wedacara, pasti juga
bersentuhan satu dengan yang lainnya.
Apalagi kalau pinandita
itu lebih jauh mengembangkan hidup sederhana dan berpikir tinggi serta cinta
kasih kepada semua mahkluk dengan mempraktekkan hidup vegetarian dan tidak
melakukan kekerasan atau membunuh mahkluk manapun.
Seorang pinandita yang mencapai siddhi dia akan berhasil
(Siddha) memimpin upacara Panca Maha Yajna sesuai dengan kewenangannya.
Daftar Pustaka
Darmayasa. 2014. Bhagavad-gita
(Nyanyian Tuhan). Denpasar: Yayasan Dharma Sthapanam.
(Dr. Gauri Mahulikar, Vedic Elements in Puranic Mantras and Rituals, Delhi:
Nag Publisher, 2000: 11
Sumber : I Ketut Widnya
Sumber : I Ketut Widnya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar