PENDAHULUAN
Guna mempertahankan eksistensinya, setiap makhluk hidup memiliki naluri untuk berkembang biak. Manusia sebagai insan berbudi luhur, mengatur naluri berkembang biak itu dalam sebuah lembaga perkawinan, baik melalui norma hukum maupun norma sosial. Bahkan, Tuhan Yang Maha Esa melalui ajaran agama yang diturunkanNya -termasuk agama Hindu, memberi tuntunan yang jelas tentang perkawinan.
Pada dasarnya, hubungan seksual dalam sebuah perkawinan merupakan sebuah kreasi (creation/penciptaan) yang disucikan melalui upacara (ritual) agama dengan tujuan memperoleh keturunan. Namun demikian, dalam perkembangan peradaban manusia dewasa ini, sebagian kecil umat manusia menggunakan hubungan seksual hanya sebatas pelampiasan nafsu birahi semata (rekreasi/recreation). Termasuk yang dilakukan oleh orang-orang dengan jenis kelamin yang sama (laki-laki dengan laki-laki atau perempuan dengan perempuan). Hal ini, tentu saja merupakan penyimpangan terhadap kesucian hubungan seksual, meskipun dilakukan dalam sebuah lembaga perkawinan.
Dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara RI 1945 Pasal 28B (1) dengan tegas menyatakan bahwa “Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah”. Sementara itu, dalam Pasal 1 UU Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, dinyatakan bahwa “Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Ilust. Perkawinan sejenis tidak ada dalam Hindu |
PERKAWINAN DALAM AJARAN HINDU
Ajaran Hindu yang dihimpun dalam Pustaka Suci Veda, menegaskan bahwa perkawinan (wiwaha) hanya dapat dilakukan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan dengan tujuan membentuk keluarga yang sejahtera dan bahagia untuk memperoleh keturunan.
Sebagaimana dinyatakan dalam Rg Veda Mandala X Sukta 85 Mantra 42, sebagai berikut:
Ihaiva stam ma vi yaustam,
Visvam ayur vyasnutam,
Kridantau putrair naptribhih,
Modamanau sve grhe.
Maksudnya:
Wahai pasangan suami istri, tetaplah kalian bersatu tak terpisahkan,
Hidup harmonis dalam keselamatan dan kebahagiaan,
Melahirkan dan merawat putra-putri dengan baik,
Serta tinggal di rumah sendiri dalam kebersamaan.
Bahwa perkawinan (wiwaha) berfungsi meneruskan keturunan, ditegaskan kembali dalam Kitab Manawa Dharmasastra (Kompendium Hukum Hindu) antara lain dalam Adhyaya III Sloka 42, sebagai berikut:
Aninditaih stri wiwahair,
Anindya bhawati praja,
Ninditairnindita nrirnam,
Tasmannindyan wiwarjayet.
Maksudnya:
Dari perkawinan yang terpuji,
Akan lahir putra putri yang terpuji,
Dari perkawinan yang tercela,
Akan lahir keturunan yang tercela.
Tentang kemuliaan seorang istri sebagai bagian dari pasangan suami istri, Kitab Manawa Dharmasastra Adhyaya IX Sloka 8, menyatakan:
Patirbharyam samprawisya,
Garbho bhutweha jayate,
Jayayastaddhi jayatwam,
Yadasyam jayate punah.
Maksudnya:
Setelah suami membuahi istrinya,
Kemudian menjadi jabang bayi (embrio) di dalam kandungannya,
Lalu sang istri melahirkan,
Itulah kemuliaan seorang istri (mengandung dan melahirkan).
Terkait fungsi laki-laki dan perempuan dalam lembaga perkawinan (keluarga) yang suci, ditandai dengan dilaksanakannya upacara perkawinan (wiwaha samskara) dengan tri upasaksi (tiga saksi) yakni Dewa Saksi (Tuhan Yang Maha Esa), Manusa Saksi (Manusia), dan Bhuta Saksi (alam semesta). Pentingnya upacara perkawinan (wiwaha samskara) dinyatakan dalam Manawa Dharmasastra Adhyaya IX Sloka 96, sebagai berikut:
Prajanartha striyah srstah,
Samtanartham ca manawah,
Tasmat sadharano dharmah,
Srutau patnya sahaditah.
Maksudnya:
Untuk menjadi ibu seorang wanita diciptakan,
Untuk menjadi ayah seorang laki-laki diciptakan,
Karena itu telah ditetapkan upacara keagamaan (perkawinan),
Yang wajib dilakukan oleh sepasang suami istri.
Mengacu kepada beberapa mantra dan sloka yang terdapat dalam Pustaka Suci Veda tersebut di atas, sangat jelas bahwa tujuan perkawinan adalah untuk mendapatkan keturunan guna melanjutkan eksistensi umat manusia di atas muka bumi. Tujuan perkawinan tersebut hanya dapat diwujudkan bila perkawinan dilakukan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan.
Terlebih lagi, jika tujuan perkawinan dikaitkan dengan salah satu sraddha (keyakinan) dalam agama Hindu yakni Punarbhawa (reinkarnasi). Dengan melaksanakan perkawinan antara laki-laki dan perempuan, akan memberi peluang kepada para leluhur untuk menjelma kembali ke dunia dalam rangka memperbaiki karma (perbuatannya). Hal ini tak mungkin terjadi bila perkawinan dilakukan antara pasangan dengan jenis kelamin yang sama.
PENUTUP
Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat disampaikan beberapa hal sebagai berikut:
- Perkawinan dalam ajaran agama Hindu merupakan sebuah lembaga suci, ditandai dengan dilaksanakannya upacara perkawinan (wiwaha samskara) dengan disaksikan oleh tri upasaksi yaitu: Dewa saksi (Tuhan), Manusa saksi (manusia), dan Bhuta saksi (alam semesta).
- Perkawinan menurut ajaran agama Hindu bertujuan untuk menghasilkan (krido) keturunan (kreasi/creation) dan bukan untuk kenikmatan semata (rekreasi/recreation). Untuk tujuan tersebut, perkawinan hanya dapat dilakukan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan.
- Sehubungan dengan hal tersebut angka 1 dan 2, maka agama Hindu dengan tegas menolak adanya perkawinan sejenis, baik antara laki-laki dengan laki-laki maupun antara perempuan dengan perempuan.
*Oleh Mayjen TNI (Purn) S.N. Suwisma
Disampaikan dalam Seminar Nasional dengan tema “Perkawinan Sejenis dalam pandangan Agama-Agama di Indonesia” tanggal 20 November 2015 di Denpasar.
** Ketua Umum Pengurus Harian Parisada Hindu Dharma Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar