Sebenarnya Tuhan tidak membutuhkan bentuk
material untuk memujanya, segala bentuk material itu hanyalah symbol
tindakan abstrak agar lebih terlihat nyata. Tuhan menuangkan pernyataan
dalam sloka 9.26 karena sudah mengetahui manusia dizaman yang akan
datang tidak bisa melakukan pengabdian kepadanya tanpa dilandasi dengan
tindakan yang abstrak.
Untuk mencapai tempat tinggal permanen
atau kebahagian yang abadi Tuhan memudahkan umatnya tanpa memandang
kasta atau derajat seseorang baik yang kaya atau miskin sekalipun
melakukan persembahan tanpa adanya perbedaan, semuanya diperlakukan
secara adil. Proses persembahannya sangatlah mudah seperti sedikit air,
sehelai daun, buah atau biji dengan tulus iklas Tuhan akan senang
menerimanya. Perbedaan yang muncul hanya dari pemuja itu sendiri antara
kemurnian jiwa yang tulus iklas dalam mempersembahkan kepada Tuhan.
Itulah cara paling mudah, universal dan metode paling sederhana yang
diberikan Tuhan kepada umatnya. Tuhan hanya menyukai pelayanan bhakti
dengan slalu mengingat namanya, tidak lebih dari itu. Dengan pengabdian
maka umatnya akan mencapai keabadian yang sesungguhnya, karena Tuhan
adalah kepribadian yang tak terhingga dan maha sempurna. Untuk lebih
jelasnya dapat dibaca sloka dibawah ini:
Bhagawadgita sloka 9.26
patram puṣpam phalam toyam
yo me bhaktyā prayacchati
tad aham bhakty-upahṛtam
aśnāmi prayatātmanaḥ
Kosa kata:
patram (sehelai daun), puṣpam
(setangkai bunga), phalam (buah-buahan), toyam (air); yo (siapa), me
(kepada), bhaktyā (pengabdian), prayacchati (menawarkan); tad (itu),
aham (Ku-Tuhan), bhakti (bhakti), upahṛtam (ditawarkan dalam
pengabdian); aśnāmi (menerima), prayatatmanah (kesadaran yang murni).
Apa yang dipersembahkan kepadaku, sehelai
daun, setangkai bunga, setetes air, buah atau biji-bijian dengan cinta
bhakti dan kesadaran yang murni, akan Ku terima.
Kata-kata yo me bhaktya prayacchati
berarti menawarkan kepadanya dengan mencintai pengabdian. Bahkan jika
umatnya menawarkan dengan pikiran yang bersih dan hati yang murni
meskipun tanpa melakukan usaha yang tidak terlalu berat seperti
mempersembahkan air, sehelai daun atau buah yang dijiwai dengan
pengabdian maka akan dianggap sakral oleh Tuhan yang maha tinggi
sehingga ia akan menjadi senang dan merasa berhutang budi pada pemuja
tersebut. Tindakan apapun yang dilakukan dengan bhakti atau pengabdian
kepadanya , ia menerimanya dengan cinta bhakti.
Kata bhakti disebutkan dua kali dalam
sloka ini yang mempertegas bahwa satu-satunya cara yang mudah
dilaksanakan oleh umat untuk melakukan pendekatan kepadanya adalah
melalui pelayanan bhakti. Meskipun ada cara lain seperti menjadi
brahmana, sarjana, orang kaya dan filsuf besar, tanpa adanya prinsip
bhakti kepadanya semuanya itu hanya akan sia-sia belaka, karena bhakti
bersifat kekal, semua kepercayaan apapun pasti melakukan bhakti untuk
memuja Tuhan mereka.
Dalam sloka ini juga sangat dijelaskan
Tuhan menginginkan persembahan dalam bentuk vegetarian, jadi apa yang
tidak diinginkan tidak disebutkan dalam sloka ini seperti persembahan
daging, ikan dan telur. Tuhan hanya ingin pelayanan bhakti berupa
persembahan seperti sehelai daun, setangkai bunga, setetes air, buah
atau biji-bijian yang depersembahkan dengan tulus iklas maka ia akan
menerimanya. Artinya Tuhan meminta agar umatnya memakan makanan seperti
apa yang dipersembahkan kepadanya (vegetarian) sehingga manusia memiliki
pikiran yang jernih dan jiwa yang bersih serta terbebas dari siklus
reinkarnasi yang tiada ahir dan mencapai kebebasan atau kebahagian yang
kekal.
Pada Bhagawadgita sloka 3.13 Tuhan
menjelaskan “Para penyembah Ku dibebaskan dari segala jenis dosa karena
mereka makan makanan yang dipersembahkan terlebih dahulu untuk korban
suci. Orang yang menyiapkan makanan untuk kenikmatan indria-indria
pribadi, sebenarnya hanya makan dosa saja”. Magna sloka ini mirip dengan
sloka diatas, dimana Tuhan mengampuni dosa umatnya dengan hanya memakan
sisa-sisa hasil persembahan yang ditujukan dengan tulus iklas
kepadanya. Tetapi umat yang makan tanpa melakukan persembahan justru
akan mendapatkan dosa, karena tidak bersyukur atas segala apa yang ia
makan semuanya adalah pempberian darinya. Tuhan tidak membutuhkan
makanan, karena segalanya telah ia miliki, ia hanya menerima persembahan
karena cinta bhakti umatnya terhadap dirinya bukan karena makanan
tersebut.
Penerapan sloka ini dalam keyakinan umat
Hindu dapat dilihat ketika melakukan persembahyangan dipura, yaitu
bersembahyang dengan tulus dan iklas merupakan bhaktya, sedangkan
pemakaian bunga sebagai sarana pelengkap persembahyangan merupakan
wujud persembahan atas rasa syukur. Setiap masing-masing bunga memiliki
mantra yang berbeda-bedat. Bunga, disamping dipergunakan sebagai sarana
persembahyangan juga memiliki arti sebagai lambang persembahyangan yang
tulus ikhlas dan suci serta melambangkan sifat maha cinta kasih dari
Tuhan Yang Maha Esa. Selain itu, bunga itu sendiri adalah
lambang-lambang dari keagamaan. Ketika bunga dirangkai menjadi sebuah
sesajen Canang hendaknya warna bunga itu sendiri disesuaikan dengan
dimana hendaknya warna yang bersangkutan arahnya berada. Misalnya,
Pancawarna itu sendiri. Bunga dengan Warna merah di selatan, Warna gelap
(hitam/ ungu) di utara, warna putih di timur, warna kuning di barat dan
di tengah adalah kombinasinya. Letak warna bunga tersebut juga
menandakan Dewa dengan warna apa yang berstana di arah itu.
Banyak bukti-bukti lontar, kekawin
ataupun kitab yang menyebutkan arti penting dari bunga itu sendiri.
Adapun bukti-bukti, tersebut antara lain: Pertama, sebagai arti atau
lambang restu Tuhan. Hal tersebut terdapat dalam kekawin Ramayana,
ketika Sang Rama sebagai Awatara Wisnu, berperang melawan Rahwana, dan
Rama mandapat restu dari Dewa-dewa, yaitu dengan menghujani bunga wangi
pada Rama. Hal serupa juga terjadi pada Arjuna ketika bertapa untuk
mendapatkan panah Pasopati untuk mengalahkan Korawa. Arjuna mendapat
restu dari Dewa Siwa dengan cara menghujani Arjuna dengan bunga, yang
dikenal dengan istilah Puspa warsa yang disebutkan dalam kekawin Arjuna Wiwaha.
Kedua bunga adalah lambang dari jiwa
(roh) dan alam pikiran. Misalnya, dalam upacara kematian umat Hindu di
Bali, dalam perjalan mngusung mayat ke kuburan (setra), di taburkan
“sekar ura” (campuran bunga uang kepeng dan beras berwarna kuning)
sebagai lambang ungkapan perasaan ketulus ikhlasan hati untuk berpisah
dan melepaskan orang yang telah meninggal untuk kembali ke akhirat.
Begitu pula, ketika keluarga korban yang meninggal melakukan
persembahyangan kepada korban menggunakan bunga pada ujung kedua cakupan
tangannya melambangkan ketulus iklasan keluarga untuk melepas kepergian
korban dan mendoakan korban agar atma si korban dapat kembali pada
Tuhan.
Aktualisasi setetes air pada sloka
Bhagavadgita 9.26 dapat dilihat ketika menggunakan tirtha sebagai salah
satu sarana persembahyangan. Tirtha pada dasarnya adalah air yang telah
melalui proses pembersihan dan penyucian secara ritual sehingga bersifat
sakral dan diyakini dapat menumbuhkan perasaan dan atau pikiran yang
suci. Untuk mendapatkan tirtha ada dua macam cara yaitu: Pertama, dengan
cara naur (memohon) yang dapat dilakukan oleh pinandita (pemangku,
dalang, balian termasuk sang yajamana (umat yang sedang menyelenggarakan
upacara yajna). Penggunaan air yang kemudian diproses ritual menjadi
tirtha, bukanlah sekedar pemanfaatan benda cair itu secara fisikal.
Lebih jauh dari itu adalah nuansa sakral dari air suci itu dalam
menumbuhkan jiwa spiritual umat agar dirinya terbebas dari segala
kekotoran baik yang disebabkan oleh unsur material (badan kotor) maupun
unsur immaterial (rohani kotor). Itu sebabnya, meski nampak sepele
percikan air suci yang disebut tirtha itu merupakan lambang kehidupan
yang di dalam lontar Paniti Agama Tirtha disebut “tirtha ngaran amrta”:
tirtha adalah hidup. Artinya, tirtha itulah penyebab umat dan agama
Hindu itu tetap eksis. Tanpa tirtha umat dan agama Hindu akan kering
lalu mati. Sebaliknya dengan tirtha, dahaga lahir dan batin akan
terpuaskan dalam kehidupannya.
Sumber : http://ney24.wordpress.com/
cảm ơn cho bình luận của bạn
BalasHapus