Mengapa Umat Hindu Memakai Daun Ilalang

Kisah Sang Garuda dan para Naga

Dikisahkan, pada suatu hari Sang Winata dan Sang Kadru, istri Bagawan Kasyapa, mendengar kabar tentang keberadaan seekor kuda bernama Uccaihsrawa, hasil pemutaran Gunung Mandara atau Mandaragiri. Sang Winata mengatakan bahwa warna kuda tersebut putih semua, sedangkan Sang Kadru mengatakan bahwa tubuh kuda tersebut berwarna putih sedangkan ekornya saja yang hitam. Karena berbeda pendapat, mereka berdua bertaruh, siapa yang tebakannya salah akan menjadi budak. Mereka berencana untuk menyaksikan warna kuda itu besok sekaligus menentukan siapa yang salah.
Sang Kadru menceritakan masalah taruhan tersebut kepada anak-anaknya. Anak-anaknya mengatakan bahwa ibunya sudah tentu akan kalah, karena warna kuda tersebut putih belaka. Sang Kadru pun cemas karena merasa kalah taruhan, maka dari itu ia mengutus anak-anaknya untuk memercikkan bisa ke ekor kuda tersebut supaya warnanya menjadi hitam. Anak-anaknya menolak untuk melaksanakannya karena merasa perbuatan tersebut tidak pantas. Sang Kadru yang marah mengutuk anak-anaknya supaya mati ditelan api pada saat upacara pengorbanan ular yang diselenggarakan Raja Janamejaya. Mau tak mau, akhirnya anak-anaknya melaksanakan perintah ibunya. Mereka pun memercikkan bisa ular ke ekor kuda Uccaihsrawa sehingga warnanya yang putih kemudian menjadi hitam. Akhirnya Sang Kadru memenangkan taruhan sehingga Sang Winata harus menjadi budaknya.

Sementara itu, telur yang diasuh Sang Winata menetas lalu munculah burung gagah perkasa yang kemudian diberi nama Garuda. Sang Garuda mencari-cari kemana ibunya. Pada akhirnya ia mendapati ibunya diperbudak Sang Kadru untuk mengasuh para naga. Sang Garuda membantu ibunya mengasuh para naga, namun para naga sangat lincah berlari kesana-kemari. Sang Garuda kepayahan, lalu menanyakan para naga, apa yang bisa dilakukan untuk menebus perbudakan ibunya. Para naga menjawab, kalau Sang Garuda mampu membawa tirta amerta ke hadapan para naga, maka ibunya akan dibebaskan. Sang Garuda menyanggupi permohonan tersebut.

Singkat cerita, Sang Garuda berhasil menghadapi berbagai rintangan dan sampai di tempat tirta amerta. Pada saat Sang Garuda ingin mengambil tirta tersebut, Dewa Wisnu datang dan bersabda, “Sang Garuda, jika engkau ingin mendapatkan tirta tersebut, mintalah kepadaku, nanti pasti aku berikan”. Sang Garuda menjawab, “Tidak selayaknya jika saya meminta kepada anda sebab anda lebih sakti daripada saya. Karena tirta amerta anda tidak mengenal tua dan mati, sedangkan saya tidak. Untuk itu, berikanlah kepada saya anugerah yang lain”. Dewa Wisnu berkata, “Jika demikian, aku memintamu untuk menjadi kendaraanku, sekaligus menjadi lambang panji-panjiku”. Sang Garuda setuju dengan permohonan tersebut sehingga akhirnya menjadi kendaraan Dewa Wisnu. Kemudian Sang Garuda terbang membawa tirta, namun Dewa Indra tidak setuju kalau tirta tersebut diberikan kepada para naga. Sang Garuda mengatakan bahwa tirta tersebut akan diberikan kalau para naga sudah selesai mandi.

Sampailah Sang Garuda ke tempat tinggal para naga. Para naga girang ingin segera meminum amerta, namun Sang Garuda mengatakan bahwa tirta tersebut boleh diminum jika para naga mandi terlebih dahulu. Para naga pun mandi sesuai dengan syarat yang diberikan, tetapi setelah selesai mandi, tirta amerta sudah tidak ada lagi karena dibawa kabur oleh Dewa Indra. Para naga kecewa dan hanya mendapati beberapa percikan tirta amerta tertinggal pada daun ilalang. Para naga pun menjilati daun tersebut sehingga lidahnya tersayat dan terbelah. Daun ilalang pun menjadi suci karena mendapat tirta amerta. Sementara itu Sang Garuda terbang ke surga karena merasa sudah menebus perbudakan ibunya. Berdasarkan cerita Kurma Purana tersebutlah maka Ilalang dianggap suci oleh umat Hindu dan digunakan sebagai sarana petirthaan, Sirowista dan lainnya. 
Ilalang Tak pernah Mati, selalu tumbuh dan tumbuh jika akarnya menyentuh tanah


SIROWISTA Dalam Upacara
 
Umat Hindu setelah melaksanakan upacara tertentu sering kita lihat mengikatkan tiga helai daun ilalang yang disusun sedemikian rupa di kepala mereka. Benda ini sangat istimewa dan mengandung nilai kesucian yang sangat dalam. Benda tersebut disebut Sirowista atau Karowista.

Tentang kesucian dari rumput ilalang dapat kita temui dalam itihasa Mahabharata khususnya dalam kitab Adiparwa. Dalam kitab ini diceritakan bahwa rumput ilalang menjadi suci karena telah terpercikkan tirta amerta. Ketika Sang Garuda menyerahkan tirta amerta kepada para naga untuk mebebaskan ibunya. Saat tirta amerta ditinggal oleh para naga mandi, datanglah Sang Hyang Indra mengambilnya kembali. Sekembalinya dari mandi para naga tidak lagi menemui tirta amerta, melainkan hanya titik-titik amerta yang tertinggal di ujung rumput ilalang yang ada di sana, itulah yang dijilat oleh para naga. Demikianlah cerita rumput ilalang yang menjadi suci karena percikan tirta amerta tersebut.

Kata Sirowista berasal dari bahasa sansekerta yang terdiri dari kata sirah (kepala) dan wista (pengikat). Jadi Sirowista adalah ikat kepala yang terbuat dari tiga helai daun ilalang yang dibentuk sedemikian rupa. Sirowista dibuat dari daun ilalang karena daun ilalang sangat penting dalam tradisi Hindu. Dalam setiap upacara rumput ini pasti hadir sebagai bagian dari upakara, malah menjadi bagian yang sangat penting.


Sebuah Sirowista dibuat dari tiga helai daun ilalang yang dibentuk sedemikian rupa sehingga pada ujungnya terdapat dua lingkaran dan tetap terdapat ujung yang lancip. Bila kita perhatikan dengan seksama Sirowista tersebut, jelaslah bahwa bentuk Sirowista merupakan perwujudan dari aksara suci OM, yang terdiri atas Omkara, Ardhacandra, Windhu dan Nadha. Omkara terdiri dari Tri Aksara ( Ang, Ung, Mang), lingkaran pertama adalah Ardhacandra (bulan), lingkaran ke dua adalah Windhu (matahari), dan ujung yang lancip adalah Nadha (getaran cahaya). Jadi aksara suci OM sebagai Nadha Brahma, dan juga perwujudan dari hukum semesta utpeti, sthiti dan pralina, dituangkan dalam bentuk Sirowista dengan bahan rumput suci.



Penggunaan Sirowista diikatkan di kepala dengan makna untuk mengikat kesucian dari Panca Budhi Indriya. Seperti diketahui bahwa manusia memiliki sepuluh indriya (Dasendriya), terdiri dari Panca Budhi Indriya dan Panca Kama Indriya. Panca Budhi Indriya terdiri atas Srotendriya, Twakindriya, Cakswindriya,  Jihwendriya dan Ghranendriya, semuanya terletak di kepala. Sedangkan Panca Karma Indriya terletak dibagian bawah yaitu Panindriya, Padendriya, Upasthendriya, Wagindriya dan Paywindriya. Dengan demikian jelaslah bahwa Sirowista dimaksudkan untuk mengikat Panca Budhi Indriya manusia khususnya Rajendriya (pikiran) dan lanjut untuk menyucikannya.   

Dari berbagai Sumber.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar