Semua orang
mengakui hidup itu tiada arti tanpa cinta, seorang anak manusia dilahirkan
berkat kekuatan cinta, walau boleh dikatakan tiada jarang hawa nafsu yang
mendahului kehadiran janin. Anak lahir dan dibesarkan dalam rumah yang
sewajarnya aman dan damai, yang menjadi benteng pelindung terhadap dunia luar.
Rumah itu menyenangkan dan membuat anak betah hanya bilamana kebutuhannya
terpenuhi. Cinta memang tidak hanya berarti susu, tetapi ia merasa dicintai
ketika bisa menyusu dengan aman dan nyaman hingga kenyang. Lewat belaian lembut
dan ciuman sayang sehingga ia menikmati pernyataan cinta dari orang tuanya. Ia
belajar menarik perhatian untuk mendapatkannya melaui kepolosan dan senyumnya
yang tulus. Seorang anak merasa dicintai karena permintaannya dipenuhi. Ia
mencintai seseorang sebagai balasan karena ia merasa dicintai. Tak beda dengan
orang tuanya, yang mencintai karena sang anak memenuhi harapan atau bhakti pada
orang tua. Lalu cinta menjadi luntur ketika harapan itu tidak dipenuhi. Rasa
kecewa dan marah mungkin membuat cinta berbalik menjadi benci. Itulah cinta
kekanak-kanakan.
Cinta tentulah bukan suatu pemaksaan
pada orang lain untuk memenuhi keinginan ego atau Sang Aku. Svami Vivekananda mengatakan: ”Cinta selalu menempatkan
diri sebagai si pemberi, bukan si penerima.” Memberi adalah suatu bentuk
pengorbanan yang menghasilkan kepuasan. Dalam hidup kerohanian seseorang tidak
menjadi miskin, justru menjadi bertambah kaya dengan memberi. Bagai api dari
sebuah obor, diberi atau dibagi untuk menyalakan ratusan bahkan ribuan obor
lain, obor pertama itu tidaklah dirugikan. Sedangkan terang yang dihasilkan
jauh lebih berlipat ganda.
Batasan
cinta oleh Veda dinyatakan mencakup empat unsur, yang dikenal sebagai empat
keadaan batin yang luhur. Dalam bahasa sehari-hari disebut Brahma-Pura, yaitu: Maitri (cinta kasih) yang mengalahkan
segala bentuk kebencian, Karuna (welas
asih) yang menaklukkan kebengisan, Mudita
(simpati) yang menyingkirkan keirihatian, dan Upeksa (keseimbangan batin) yang mengatasi konflik atau
pertentangan.
Maitri
berarti ’sesuatu yang melembutkan hati’. Maitri muncul sebagai dorongan niat
yang suci, yang mengharapkan kebahagiaan semua mahluk tanpa kecuali. Maitri
tidak dilandasi nafsu, tidak memihak, tidak membedakan ikatan keluarga, ras,
suku, agama, kedudukan, politik, kaya - miskin, tua - muda, pria - wanita. Dengan Maitri seseorang tidak membedakan diri sendiri
dari segala mahluk. Ego atau Sang Aku lebur dalam keseluruhan, bagai setetes
air memasuki lautan. Sebagai cinta orang tua pada seorang anak, Maitri membuat
seseorang memperlakukan semua anak sama, apakah itu anak kandung, anak tiri,
anak angkat, anak tetangga dan sebagainya.
Karuna
adalah ’sesuatu yang menggetarkan hati,’ Karuna muncul sebagai rasa iba ketika
mengetahui orang lain sedang menderita. Karuna menimbulkan kehendak untuk
meringankan dan melenyapkan penderitaan orang lain. Seseorang tidak merasa puas
sebelum berhasil menolong orang lain. Sasaran
Karuna yaitu segala mahluk yang menderita. Sebagai cinta pada seorng anak, Karuna ditunjukkan oleh seorang ibu atau
ayah yang tidak menghendaki anaknya sedih, sakit atau mengalami penderitaan
lainnya.
Mudita
adalah ’sesuatu yang menggembirakan,’ ikut merasakan kesenangan dan kebahagiaan
orang lain. Sering sekali sifat iri hati meracuni batin seseorang, menimbulkan
persaingan yang tidak sehat. Perasaan simpati
merupakan obat penawar dari keracunan iri hati itu. Dengan simpati orang bisa
memuji atau mengucapkan selamat secara tulus pada orang lain yang berhasil
sukses. Mudita mempunyai sasaran mahluk yang beruntung. Sebagai cinta pada
seorang anak, Mudita terlihat dari perilaku orang tua yang puas melihat anaknya
gembira atau sukses.
Upeksa
berarti ’melihat dari dekat’, maksudnya melihat dengan adil, mempertimbangakan
dengan lurus, tidak berat sebelah, tidak dipengaruhi perasaan senang atau tidak
senang. Kecenderungan untuk terikat pada apa yang disukai dan menolak apa yang
tidak disukai mungkin mengurangi kearifan dan menghasilkan pandangan yang tidak
obyektif. Upeksa membuat seseorang bertahan di jalan yang benar, tidak tergoyahkan oleh pujian
atau kritik pedas dan berbagai pendapat yang sering saling bertentangan.
Sasaran Upeksa adalah mereka yang bertentangan paham atau sikap. Sebagai cinta
pada seorang anak, dengan Upeksa orang tua tidak segan-segan menjewer anaknya
yang berbuat salah, justru karena tidak ingin melihat anaknya menderita atau
karena ingin membahagiakan anaknya.
Cinta yang
sejati ditunjukkan oleh seorang ibu yang mempertaruhkan nyawa atau mengorbankan
dirinya sendiri untuk melindungi anaknya yang tunggal. Perasaan cinta di sini
tidak didasarkan pada keinginan memiliki atau memenuhi kepentingan pribadi.
Cinta kasih semacam inilah yang diajarkan oleh Veda kepada kita untuk dikembangkan tanpa batas
kepada semua mahluk.
I Wayan Sudarma, S.Ag - Bekasi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar