Dalam ayat-ayat Veda dapat kita lihat adanya suatu hubungan yang tidak dapat ditawar tawar antara substansi pengetahuan Veda dan cara menerimanya (dapat dikatakan antar ajaran Veda dengan media perantaranya). Epistemologi Veda lebih menyukai apa yang dinamakan proses Sabda (mendengar dari sastra Veda).
Proses pertama yaitu pemahaman yang berdasarkan pemahaman melalui indera empiris (Pratyaksa). Cara memperoleh pengetahuan yang kedua adalah dengan Anumana, yaitu pengetahuan yang didapatkan melalui pembuktian. Namun menurut Veda, Anumana tidak dapat sepenuhnya membawa kepada pengetahuan yang sempurna. Veda menguraikan obyek-obyek yang berada di luar sifat-sifat alam material yang tidak dapt diketahui secara eksperimental. Karena itulah obyek tersebut dipahami sebagai Acintya. Acintya tidak dapt dipahami dengan cara berangan-angan atau melaui cara argumentasi tetapi hanya dapat diterima melalui Sabda (proses mendengar dari Sastra Veda).Cara memperoleh pengetahuan dengan cara (Sabda) inilah yang dipandang sebagai cara yang terpenting dan paling handal. Karena manusia bersifat terbatas dan tidak sempurna, maka teori, pemahaman, dan angan-angan pikiran kita juga tidak sempurna.
Veda adalah sabda, pengetahuan yang diperoleh dengan mendengar melalui otoritas yang lebih tinggi, karena itulah ia dianggap sempurna. Mendengarkan pengetahuan rohani secara langsung dari otoritas adalah standar Veda, karena pengetahun rohani menyangkut sesuatu yang berada di luar dunia material. Veda mengacu kepada suatu kebenaran asli tertinggi, yang tidak dapat dipahami baik dengan pemahaman langsung (Pratyaksa) ataupun deanan metode induktif (Anumana). Denag mendengar secara langsung dari sumber otoritas, seseorang memperoleh informasi rohani sepenuhnya, sehingga kita akan menjadi bahagia dan terpuaskan, dan dapat mengatasi hal-hal yang bersifat relatif di dunia ini.
Para filosof Veda menyatakan bahwa, sabda (mendengar dari otoritas ), adalah suatu pengungkapan ilmu pengetahuan yang berada di luar tataran metodelogi ilmiah. Mereka berpegangan bahwa sabda sebagai satu-satunya proses dengan mana kita dapat mengetahui apa yang tidak dapat kita ketahui dengan indera kita yang sekarang yang berada dalam keadaan terbatas, misalnya seorang anak yang ingin mengetahui ayahnya tidak ada jalan lain selain bertanya kepada ibunya. Ini adalah hal yang tidak ada kaitannya dengan dogma, kepercayaan, keyakinan atau perasaan, tetapi hanya mendengar dari orang yang mengetahui. Jika seseorang dapat belajar dari orang lain yang telah menerima pengetahuan yang sempurna, dia bebas dari segala penderitaan. Bhagavadgita IV.34, mengajarkan:
"Cobalah mempelajari kebenaran dengan mendekati seorang guru kerohanian, bertanya dengan tunduk hati, dan lakukan pelayanan kepadanya. Orang yang telah insaf akan dirinya dapat memberikan pengetahuan kepadamu karena dia telah melihat kebenaran".
Di dalam tradisi Veda, hanya orang yang telah melihat kebenaran yang dapat menjadi seorang guru yang ideal. Dalam Mundaka Upanisad I.2.2, megajarkan:
"bahwa seorang murid yang tulus haruslah mendekati seorang guru ideal guna dapat menerima ilmu pengetahuan dan pencerahan".
Dari sloka di atas dapat diketahui bahwa jika kita hendak mempelajari kerohanian kita harus mendapatkannya dari seorang Guru. Seorang murid tidak hanya harus melihat kepada sastra Veda guna diperoleh pengetahuan yang sempurna, tetapi juga harus menerima pengetahuan secara personal dari seorang guru yang berkwalitas. Dan guru yang kwalifaid adalah ia yang sarat akan pengetahuan. Salah satu contoh misalnya; ketika Arjuna ragu-ragu untuk menghadapi pertempuran melawan sahabat dan saudara-saudaranya. Secara fisiologis Arjuna telah mengalami kecemasan ontologis, di mana di kehilangan pandangan atas identitas dan kewajiban dirinya. Karena itulah dia mendekati gurunya (Krishna), yang diakui sebagai Pribadi Tertinggi (Avatara). Akhirnya Krshna memberitahukan Arjuna, bahwa setia orang harus menerima seorang guru kerohanian yang berkwalitas. Di dalam Mundaka Upanisad I.2.12, disebutkan:
" Tad vijna nartham sa gurum eva bhgacchet samit-panih srotriyam brahma nistham".
Guna mempelajari ilmu pengetahuan rohani, orang harus dengan rendah hati mendekati seorang guru kerohanian yang bona fide, yang berasal dari rangkaian garis perguruan dan mantap dalam kebenaran mutlak. (Amir, terjemahan,1996: 8).
" Tad vijna nartham sa gurum eva bhgacchet samit-panih srotriyam brahma nistham".
Guna mempelajari ilmu pengetahuan rohani, orang harus dengan rendah hati mendekati seorang guru kerohanian yang bona fide, yang berasal dari rangkaian garis perguruan dan mantap dalam kebenaran mutlak. (Amir, terjemahan,1996: 8).
Seorang guru harus mampu memindahkan kebenaran mutlak dari ilmu pengetahuan Veda secara sempurna. Seorang guru yang bijaksana tidak akan mau menarik jasa atas mantra rahasia yang ia berikan, dan mengijinkan para muridnya untuk mengabaikan aturan-aturan dan pertapaan Veda, mengajarkan yoga dengan penekanan pada senam, dan memelihara tujuan yoga sebagai kesehatan material, serta menantang Veda dengan menyatakan diri mereka atau setiap orang adalah Tuhan, dan sebagainya. Inilah yang mengkhawatirkan sehingga apabila kita mendengar kata guru, kita menjadi kurang percaya. Bagaimanapun juga hubungan antar guru-sisya adalah hubungan moral yang sangat mendasar dan bersifat kekal, yang hanya dapat diinsafi oleh mereka yang telah dengan tulus hati bersungguh-sungguh mendekati seorang guru kerohanian yang berkwalitas.
Menurut Rupa Gosvami dalam bukunya yang berjudul "Upadesamrta", mengatakan bahwa ada enam ciri-ciri guru yang berkwalitas, yaitu: "Orang bijak yang dapat mentolerir dorongan untuk berbicara, keinginan pikiran, reaksi marah, dorongan lidah, perut dan kemaluan berkualifikasi untuk menerima murid di seluruh dunia".
Seorang guru juga harus seorang Acarya, yaitu orang yang menjadikan dirinya sebagai contoh (suri tauladan). Jangan menjadi guru yang hanya bisa mengajar tetapi ia sendiri tidak dapat melakoninya. Dan seorang guru haruslah menjadi seorang sisya (murid) dari seorang guru kerohanian yang sejati di dalam rangkaian garis perguruan, senantiasa harus ada pengkajian (check and balance), yang disebut "Guru sastra sadhu, yaitu: ajaran guru haruslah mengacu kepada ajaran para sadhu (ajaran guru-guru terdahulu di dalam rangkaian garis perguruan), dan juga semuanya harus sesuai dengan makna yang sebenarnya dari sastra (kitab suci).
Di samping guru, murid juga harus berkwalitas, dan hal yang paling mendasar yang harus diketahui oleh seorang murid kepada gurunya adalah dengan sikap hormat dan tunduk hati bertanya kepada guru dan melayaninya (Bhagavadgita IV.34). Yang terpenting dari kwalifikasi seorang murid adalah keyakinan, pelayanan, dan bertanya secara tunduk hati. Akan tetapi seorang murid hendaknya jangan mengikuti gurunya secara buta. Seorang murid harus memiliki keinginan yang kuat untuk membedakan perbedaan antara material dengan spritual, murid harus bebas dari segala keinginan dan kepentingan pribadi, dan juga harus mengekang pikiran dan inderanya, jika tidak dapat meninggalkan segala kenikmatan material dan terbebas dari kesulitan, seorang murid tentu tidak akan dapat berkwalifikasi atas kehidupan rohani.
Atas dasar hubungan guru-sisya inilah seorang murid mendapat bimbingan dari seorang guru, agar dapat melenyapkan avidya yang ada dalam dirinya. Dengan bantuan seorang guru, melalui ajaran disiplin kerohanian murid akan dapat merealisasikan Tuhan dalam dirinya sehingga memiliki kesadaran akan Brahman dan Atman.
Oleh: I Wayan Sudarma, S.Ag
Tidak ada komentar:
Posting Komentar