Candi Cetho yang berlokasi di Desa Cetho, Kelurahan Gumeng,
Kecamatan Jenawi, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah. Lokasi Candi Cetho yang berada di lereng gunung Lawu, dengan ketinggian 1.496
meter dari permukaan laut.
Candi Cetho selalu beringin dengan Candi Sukuh bila kita mendengar dari setiap orang bercerita. Hal dikarenakan Candi Cetho letaknya tidak terlalu jauh dari Candi Sukuh. Jadi kalau kita datang ke Candi Sukuh, berarti kita juga dapat melanjutkan perjalanan menyelusuri jejak sejarah akhir Kerajaan Majapahit yang pernah terukir di daerah ini. Perjalanan dari Candi Sukuh menuju Candi Cetho hanya membutuhkan waktu kurang lebih 20 menit dengan perjalanan santai.
Dalam perjalanan menuju Candi Cetho banyak kita jumpai pemandangan alam yang indah, dan pemandangan rumah penduduk yang menyerupai rumah penduduk di Bali. Terutama ini terlihat jelas dengan pemandangan setiap pagar pintu rumahnya.
Setiap pagar pintu rumah yang berbentuk gapura bentar, yaitu sebuah gunungan yang dibelah dua secara vertikal, mirip pintu masuk pura. Ada yang terbuat dari bata, dan ada juga yang terbuat dai batu alam hitam. Sungguh pemandangan yang indah dan penuh dengan kratifitas sebuah seni karya yang memancarakan atmosfer spiritual hingga menenggelamkan setiap mata yang memandang dan menikmatinya.
Candi Cetho memang terletak di tempat yang lebih tinggi dibandingkan dengan Candi Sukuh, yakni sekitar 1400 meter dari permukaan laut. Candi Cetho sampai saat ini masih dipergunakan sebagai tempat melakukan ritual keagamaan, terutama sering digunakan bagi masyarakat setempat.
Dari pengalaman penulis mengunjungi Candi Sukuh dan Candi Cetho, penulis berpendapat banwa Candi Cetho lebih terkesan familier bagi masyarakat setempat yang merupakan penganut masyarakat beragana Hindu Bali dan Kejawen, dan sampai saat ini Candi Cetho masih berfungsi sebagai tempat peribadatan (pura dan petilasan)
Candi Cetho selalu beringin dengan Candi Sukuh bila kita mendengar dari setiap orang bercerita. Hal dikarenakan Candi Cetho letaknya tidak terlalu jauh dari Candi Sukuh. Jadi kalau kita datang ke Candi Sukuh, berarti kita juga dapat melanjutkan perjalanan menyelusuri jejak sejarah akhir Kerajaan Majapahit yang pernah terukir di daerah ini. Perjalanan dari Candi Sukuh menuju Candi Cetho hanya membutuhkan waktu kurang lebih 20 menit dengan perjalanan santai.
Dalam perjalanan menuju Candi Cetho banyak kita jumpai pemandangan alam yang indah, dan pemandangan rumah penduduk yang menyerupai rumah penduduk di Bali. Terutama ini terlihat jelas dengan pemandangan setiap pagar pintu rumahnya.
Setiap pagar pintu rumah yang berbentuk gapura bentar, yaitu sebuah gunungan yang dibelah dua secara vertikal, mirip pintu masuk pura. Ada yang terbuat dari bata, dan ada juga yang terbuat dai batu alam hitam. Sungguh pemandangan yang indah dan penuh dengan kratifitas sebuah seni karya yang memancarakan atmosfer spiritual hingga menenggelamkan setiap mata yang memandang dan menikmatinya.
Candi Cetho memang terletak di tempat yang lebih tinggi dibandingkan dengan Candi Sukuh, yakni sekitar 1400 meter dari permukaan laut. Candi Cetho sampai saat ini masih dipergunakan sebagai tempat melakukan ritual keagamaan, terutama sering digunakan bagi masyarakat setempat.
Dari pengalaman penulis mengunjungi Candi Sukuh dan Candi Cetho, penulis berpendapat banwa Candi Cetho lebih terkesan familier bagi masyarakat setempat yang merupakan penganut masyarakat beragana Hindu Bali dan Kejawen, dan sampai saat ini Candi Cetho masih berfungsi sebagai tempat peribadatan (pura dan petilasan)
Candi Cetho memiliki 13 teras yang memanjang kebelakang sejauh 190 m, sedangkan lebar Candi Cetho sekitar 30 m. Jalannya berbatu dengan gapura setiap teras yang membelah kompleks Candi Cetho dengan pusatnya candi induk yang berada di tingkat paling atas. Sedangkan posisi candi induk yang diatas tidak mudah untuk selalu dikunjungi. karena lokasinya selalu terkunci, dan hanya dibuka pada saat akan digunakan untuk melakukan ritual sembahyang.
Informasi yang penulis dapatkan mengenai sejarah berdirinya Candi Cetho ini masih berkaitan dengan lahirnya Raden Brawijaya, raja terakhir Kerajaan Majapahit, dari kejaran putranya yaitu Raden Fatah seorang penguasa Demak.
Setelah Raden Fatah memporak-porandakan Sukuh, maka Raden Brawijaya lari menuju arah timur laut, dan mendirikan Candi Cetho ini. Sebelum pembuatan Candi Cetho selesai dibuat, timbullah pertikaian lama Raden Brawijaya dengan Adipati Cepu, yang mengakibatkan Raden Brawijaya lari, dan akhirnya "moksa" di puncak Gunung Lawu.
Gapura bentar yang berada di depan Candi Cetho sangat mencuri perhatian penulis dan para pengunjung yang lainnya. Gapura yang terlihat megah, tinggi, besar, hitam,berdiri kokoh saling berhadapan. Sungguh indah dan membuat takjub setiap mata yang memandangnya.
Jalan yang mendaki beberapa langkah untuk mencapai anak tangga yang mengantarkan penulis menuju gapura bentar. Persis sebelum anak tangga pertama, penulis melihat dua arca berpunggungan. Satu menghadap pintu masuk, dan satu lagi menghadap anak tangga.
Di pintu masuk Candi Cetho penulis menemukan sebuah tulisan yang memuat rasa kekecewaan pada saat pemugaran Candi Cetho. Seperti yang penulis kutip dari teulisan tersebut : "Sangat disayangkan bahwa pemugaran atau lebih tepat disebut pembangunan oleh "seseorang" terhadap Candi Cetho ini tidak memperhatikan konsep arkeologi sehingga hasilnya tidak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah." Namun tulisan itu tidak membuat rasa keingin tahuan penulis untuk mendapatkan informasi tentang Candi Cetho ini.
Candi Cetho untuk pertama kali dilaporkan oleh Van de Vlis pada ahun 1842. Penemuan ini menarik perhatian sejumlah ahli perbakala dunia karena berbeda dengan kebanyakan candi yang ada di dunia.Karena Candi Cetho terdiri dari 13 teras yang berundak dari barat ke timur sepanjang 190 meter, mengahadap barat, dan candi intinya berada di posisi paling belakang. Dan Arca-arcanya dipahat dengan sangat sederhana. Relief dan arca lainnya mirip dengan yang ada di Candi Sukuh.
Dan pada teras ketiga terdapat susunan batu yang membentuk phallus
(alat kelamin pria) sepanjang dua meter di depan kura-kura raksasa.
Kura-kura ini merupakan lambang dari penciptaan alam semesta, sedangkan phallus
merupakan simbol penciptaan manusia.
Simbol phallus ini juga dapat kita temui di area utama, yaitu diteras ke-11, 12 dan 13. Simbol penciptaan manusia di area ini berupa arca berbentuk penis (alat kelamin lelaki) yang diletakkan di dalam cungkup kayu. Di sisni kita juga dapat melihat batu nisan peninggalan Empu Supo serta arca Brawijaya V yang merupakan nama dari Bhre Kertabumi.
Simbol phallus ini juga dapat kita temui di area utama, yaitu diteras ke-11, 12 dan 13. Simbol penciptaan manusia di area ini berupa arca berbentuk penis (alat kelamin lelaki) yang diletakkan di dalam cungkup kayu. Di sisni kita juga dapat melihat batu nisan peninggalan Empu Supo serta arca Brawijaya V yang merupakan nama dari Bhre Kertabumi.
Candi Cetho didirikan pada tahun 1373 Saka, attau sama
dengan tahun 1451 Masehi. Hal ini dapat diketahui dari keberadaan
prasasti yang terdapat dilokasi. Dan berdasarkan prasasti tersebut,
serta penggambaran figur binatang maupun relief dan arca-arca yang ada, Candi Cetho diperkirakan berasal abad 15, sebuah masa dimana Kerajaan
Majapahit mendekati masa kejayaannya.
Tidak jauh dari Candi Cetho kita bisa melihat Puri Taman Saraswati. Kita akan mnemukan papan petunjuk arah dilokasi untuk menuju Puri Saraswati ini. Dan untuk memasuki area Puri Saraswati ini, kita diharuskan melepaskan alas kaki. Di sebelah puri ini ada sebuah sendang yang menjadi bagian perjalanan ritual di tempat ini.
Tidak jauh dari Candi Cetho kita bisa melihat Puri Taman Saraswati. Kita akan mnemukan papan petunjuk arah dilokasi untuk menuju Puri Saraswati ini. Dan untuk memasuki area Puri Saraswati ini, kita diharuskan melepaskan alas kaki. Di sebelah puri ini ada sebuah sendang yang menjadi bagian perjalanan ritual di tempat ini.
Menurut informasi dari Dinas Pariwisata Karanganyar melalui brosur
yang berada dilokasi objek wisata Candi Cetho, sepasang arca ini
menunjukkan sekap ambinguitas di tahap awal ketika manusia ingin
bertobat. Kenangan tentang masa lalu yang susah dilepaskan ketika akan
melangkah maju.
Tidak diketahui arca tersebut menggambarkan tokoh siapa, karena tidak menunjukkan ciri-ciri dewa tertentu. Demikian pula dengan arca-arca lain yang di teras-teras berikutnya, yang ternyata menurut brosur yang penulis dapatkan, arca-arca tersebut tidak diletakkan di tempat yang sebenarnya.
Dari informasi brosur yang dikeluarkan secara resmi oleh Dinas Pariwisata Karanganyar terlihat jelas bahwa ada perasaan kecewa akibat keteledoran pada saat pemugaran Candi Cetho yang dilakukan oleh Humardani, yaitu salah seorang asisten pribadi mantan Presiden Soeharto, yang dilakukan pada tahun 1975 / 1976. Struktur asli Candi banyak diubah, bahkan bangunan berbentuk kubus yang ada di puncak Candi Cetho merupakan bangunan baru.
Dan dari informasi rekan penulis yang berprofesi sebagai pemandu wisata setempat dari Dinas Pariwisata Karanganyar, Jawa Tengah bahwa peninggalan yang masih asli di Candi Cetho itu yang masih asli hanya ada di teras ke-7. Ini merupakan teras terpenting, karena menampilkan tahun pendirian candi serta fungsi keagamaannya.
Di teras ke-7 kita dapat menemukan sengkalan memet (tahun yang digambarkan dalam bentuk binatang atau tumbuhan) berupa tiga ekor katak, mimi, ketam (kepiting), seekor belut, dantiga ekor kadal. Menurut seorang arkeolog asal Belanda, Bernet Kempres, arca ketam, belut, dan mimi merupakan sengkalan yang berbunyi welut (3) wiku (7) anahut (3) iku = mimi (1), menunjukkan angka 1373 Saka atau 1451 Masehi, tahun didirikannya Candi Cethoa.
Melanjutkan perjalanan di lokasi area Candi Cehto, kita akan menemukan susunan batu di atas tanah yang membentuk burung dengan sayap berkembang selebar enam meter dan di atas badan burung kita dapat melihat seekor arca kura-kura yang sedang menumpang diatasnya. Susunan batu tersebut merupakan penggalan sebuah cerita Samudramanthana dan Garudeya.
Dengan menyimak segala keterangan dan pertanyaan yang dilontarkan para wisatawan, si pemandu wisata menunjukkan persis di ujung paruh burung serta di ujung kedua sayapnya ada Surya Majapahit, yakni logo Kerajaan Majapahit yang menunjukkan adanya hubungan situs ini dengan Kerajaan Majapahit. Logo ini berada segaris dengan paruh burung, membujur lambang lingga yoni, lambang Dewa Syiwa dan Betari Durga.
Tidak diketahui arca tersebut menggambarkan tokoh siapa, karena tidak menunjukkan ciri-ciri dewa tertentu. Demikian pula dengan arca-arca lain yang di teras-teras berikutnya, yang ternyata menurut brosur yang penulis dapatkan, arca-arca tersebut tidak diletakkan di tempat yang sebenarnya.
Dari informasi brosur yang dikeluarkan secara resmi oleh Dinas Pariwisata Karanganyar terlihat jelas bahwa ada perasaan kecewa akibat keteledoran pada saat pemugaran Candi Cetho yang dilakukan oleh Humardani, yaitu salah seorang asisten pribadi mantan Presiden Soeharto, yang dilakukan pada tahun 1975 / 1976. Struktur asli Candi banyak diubah, bahkan bangunan berbentuk kubus yang ada di puncak Candi Cetho merupakan bangunan baru.
Dan dari informasi rekan penulis yang berprofesi sebagai pemandu wisata setempat dari Dinas Pariwisata Karanganyar, Jawa Tengah bahwa peninggalan yang masih asli di Candi Cetho itu yang masih asli hanya ada di teras ke-7. Ini merupakan teras terpenting, karena menampilkan tahun pendirian candi serta fungsi keagamaannya.
Di teras ke-7 kita dapat menemukan sengkalan memet (tahun yang digambarkan dalam bentuk binatang atau tumbuhan) berupa tiga ekor katak, mimi, ketam (kepiting), seekor belut, dantiga ekor kadal. Menurut seorang arkeolog asal Belanda, Bernet Kempres, arca ketam, belut, dan mimi merupakan sengkalan yang berbunyi welut (3) wiku (7) anahut (3) iku = mimi (1), menunjukkan angka 1373 Saka atau 1451 Masehi, tahun didirikannya Candi Cethoa.
Melanjutkan perjalanan di lokasi area Candi Cehto, kita akan menemukan susunan batu di atas tanah yang membentuk burung dengan sayap berkembang selebar enam meter dan di atas badan burung kita dapat melihat seekor arca kura-kura yang sedang menumpang diatasnya. Susunan batu tersebut merupakan penggalan sebuah cerita Samudramanthana dan Garudeya.
Dengan menyimak segala keterangan dan pertanyaan yang dilontarkan para wisatawan, si pemandu wisata menunjukkan persis di ujung paruh burung serta di ujung kedua sayapnya ada Surya Majapahit, yakni logo Kerajaan Majapahit yang menunjukkan adanya hubungan situs ini dengan Kerajaan Majapahit. Logo ini berada segaris dengan paruh burung, membujur lambang lingga yoni, lambang Dewa Syiwa dan Betari Durga.
Pada kondisinya aslinya, hampir tiap teras memiliki arca dan
bangunan-bangunan terbuka seperti pendopo yang berkerangka kayu. Namun,
sampai dengan terakhir penulis datang kelokasi sudah tidak seperti itu..
Yang ada hanya dua teras teratas yang masih ada pendopo, selebihnya
tidak ada.
Bila kita mau mengunjungi lokasi omjek wisata Candi Cetho, sebaiknya dilakukan pada saat pagi hari, dan penulis menyarankan agar membawa jaket. Karena pada siang hari lokasi yang terletak didataran tinggi ini selalu dihinggapi kabut setiap siang hari.
Walau Candi Cetho sudah bukan merupakan situs bersejarah yang kehilangan nilai aslinya dikarenakan telah banyaknya perubahan pada bangunan aslin ulah oknum dengan kecerobohannya pada saat melakukan pemugaran Candi Cetho, hal ini tidak menghilangkan rasa keindahan alam yang ada disekitarnya. Namun kita masih bisa menikmati di beberapa titik keaslian situs bersejarah ini.
Begitu besar arti sebuah nilai situs bersejarah bukan hanya untuk bangsa Inodnesia, namun bila kita mau menjaga dan melestarikan sebuah nilai sejarah maka, ini akan menjadi aset sejarah dunia. Semoga ini akan dapat menambah wawasan kita tentang tempat situs bersejarah yang ada di Indonesia.
Bila kita mau mengunjungi lokasi omjek wisata Candi Cetho, sebaiknya dilakukan pada saat pagi hari, dan penulis menyarankan agar membawa jaket. Karena pada siang hari lokasi yang terletak didataran tinggi ini selalu dihinggapi kabut setiap siang hari.
Walau Candi Cetho sudah bukan merupakan situs bersejarah yang kehilangan nilai aslinya dikarenakan telah banyaknya perubahan pada bangunan aslin ulah oknum dengan kecerobohannya pada saat melakukan pemugaran Candi Cetho, hal ini tidak menghilangkan rasa keindahan alam yang ada disekitarnya. Namun kita masih bisa menikmati di beberapa titik keaslian situs bersejarah ini.
Begitu besar arti sebuah nilai situs bersejarah bukan hanya untuk bangsa Inodnesia, namun bila kita mau menjaga dan melestarikan sebuah nilai sejarah maka, ini akan menjadi aset sejarah dunia. Semoga ini akan dapat menambah wawasan kita tentang tempat situs bersejarah yang ada di Indonesia.
Om Swastiastu
BalasHapusDumogi Stata Rahayu semeton Hindu Sareng Sami,
Artikel tentang candi Cetho dengan dilengkapi foto-foto nya, sangat membantu pembaca, dan sangat bagus niki.
Pertanyaan tiang, adakah keinginan Umat Hindu Indonesia untuk Merestorasi/membangun kembali candi-candi ini ??
suksma
rare angon nak bali belog
Om Swastyastu,..
BalasHapusInggih suksme. Candi cetho memang dipelihara oleh dinas purbakala kab. Karanganyar, perkembangan sekarang ini Bupati sudah memberikan kewenangan kepada umat Hindu disekitar candi untuk digunakan sebagai tempat pelaksanaan upacara keagamaan Hindu. Dalam upaya membangun kembali Candi-candi ini tentu membutuhkan biaya yang banyak dan koordinasi serta gotong royong dari seluruh umat Hindu di Indonesia. Namun sampai sekarang ini belum ada komitmen dari lembaga Hindu untuk mencoba melakukan lobi2 dengan instansi terkait. suksme.