Saudara sekalian,
Adapun catatan ini penulis anggap hanya sebagai penambah wawasan belaka.
Semata-mata karena ketertarikan penulis akan budaya leluhur beserta dgn
nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya. Tri Wangsa menurut
seorang ahli hukum (adat) Bali lampau Mr. Gde Panetje adalah terdiri
dari Wangsa Brahmana, Ksatriya, dan Wesya. Sejatinya, Tri Wangsa ini
adalah ciptaan Belanda untuk kepentingan politik Pemerintah kolonial
Belanda supaya mudah melakukan social control di Bali. Untuk itu,
melalui sebuah konferensi yang berlangsung 15-17 September 1910, Belanda
merekonstruksi sistem kasta baru dengan golongan triwangsa di atas
sudra.
Yang dimaksud dengan Raad Van Kerta adalah lembaga peradilan adat ciptaan pemerintah kolonial yang pernah mengatur sistem kehidupan sosial-adat Bali pada era 1930-an sampai menjelang tahun 1952(sebelum diganti menjadi Pengadilan negeri, 1952). Raad Van Kerta di Bali yang terkenal adalah di Klungkung (Kerta Gosa) dan Singaraja.
Mengenai Raad Van Kerta ini, dalam sebuah ruang diskusi terbatas yang digelar oleh Bali Post tahun 2004, seorang tokoh agama Hindu,yakni IB Gunada juga sepakat dengan Dewa Mardiana (peserta diskusi) soal peradilan agama. Kata mantan Sekjen Parisada Pusat ini, sejak dihapuskannya Raad van Kerta, umat Hindu di Bali kurang mendapatkan keadilan dalam bidang agama dan adat. Misalnya, jika umat kehilangan pratima yang diukur hanya materialnya. Sementara nilai kesakralannya tak terjangkau hukum. Karena itu, perlu peradilan adat dan agama. Sekretaris Peradah Bali(waktu itu) I Nyoman Mardika juga menyebut berbagai kasus. Kepemilikan tanah sering menjadi masalah krusial dalam sistem adat di Bali.
*Wacana tentang Peradilan Adat Bali penulis kira mari kita bicarakan pada catatan berikutnya...
Pembaca nan Budiman,
Mr. Gde Panetje dalam bukunya "Aneka Catatan Tentang Hukum Adat Bali" putusan-putusan pengadilan adat Raad Van Kerta begitu mengikat dalam kurun waktu lebih dari 30 tahun dan mempengaruhi tatanan sosial budaya masyarakat Bali. Lebih jauh Mr. Panetje menambahkan bahwa hukum adat Bali sebagaimana hukum adat lainnya sifatnya tidak tertulis dan justru untuk mengenal dan mencintai norma-norma dari Hukum Adat itulah Putusan-Putusan Pengadilan(adat) yang berwenang melaksanakan tapi sekaligus menentukan arah perkembangan hukum adat". Ini berarti bahwa catatan lama ini mendorong ke arah sebuah tatanan masyarakat yang tertib dan taat(menghormati) hukum. Siapapun, apapun, dimanapun masyarakat (adat) itu berada.
Berbagai konflik adat,yang diantaranya perubahan gelar(status sosial dari A ke B yang cenderung menimbulkan konflik horizontal di tengah detak-detik kehidupan masyarakat Bali mendorong penulis tuk mencari catatan lama yang setidaknya dapat dipakai sebagai cermin, sarana introspeksi untuk kita semua, Referensi masa lalu tidak selamanya jadul, kuno, gengsi.emoh tuk dipakai masa sekarang sebagai acuan dalam bertata-kelakuan di kehidupan sehari-hari dan di masa depan.
Pembaca, terkait dengan judul diatas, menurut Catatan Dr. V.E.Kern halaman 147 dst, tahun 1932), bahwa adapun Ikhtisar golongan Tri Wangsa(Brahmana, Kesatriya.dan Wesya) berikut gelar/titelnya adalah:
1. Wangsa Brahmana
Yang terbagi atas golongan/garis keturunan:
*Kemenuh
*Manuaba
*Keniten
*Mas
*Antapan
Adapun Titel di muka namanya adalah: Ida atau Ida Bagus untuk pria dan Ida Ayu(Idayu) untuk wanita. Ida Bagus hanya untuk pria yang Ibunya juga dari kasta Brahmana.
2. Ksatriya
* Ksatriya Dalem. Adapun asal dari golongan ini adalah semua golongan berasal dari keturunan Mpu Nirarta yang disebut juga Pedanda Sakti Wawu Rauh. Beliau mempunyai beberapa istri yang masing-masing menurunkan satu golongan asal keturunan Brahmana Mpu Kepakisan;salah seorang putranya ditugaskan menjadi Raja di Bali sehingga mendapat tugas Ksatriya.
*Ida Idewa. Hanya dipakai oleh Dalem(Raja) Klungkung yang BERTAHTA dan putra-putranya yang lahir dari Ibu/Istri Padmi(Permaisuri). Putra-putra-nya dari Ibu/istri Penawing/selir memakai titel/gelar Cokorda. Putra seorang Cokorda dari sistri padmi memakai gelar Cokorda juga(untuk wanita: Cokorda Istri), putra dari istri penawing memakai titel I Dewa atau Anak Agung(Wanita: I Dewa Ayu dan Anak Agung Istri).
*Pradewa. I Dewa untuk Pria dan Desak untuk Wanita. Merupakan asal keturunan Dalem(Raja) Klungkung yang sudah tidak memegang kekuasaan lagi.
* Pungakan. Ngakan bagi Pria dan Desak untuk wanitanya. Merupakan asal keturunan Dalem(Raja) di Klungkung dari Istri yang memiliki kasta lebih rendah.
Catatan : Misalnya keluarga Raja Gianyar dan Bangli masing-masing keturunan Dalem Sagening dan Dalem DiMade.Tapi dalam kehidupan sehari-hari keluarga ini memakai titel I Dewa atau Anak Agung.
* Prabagus. Bagus untuk Pria dan Ayu untuk wanitanya. Golongan ini merupakan turunan Adik Dalem Waturenggong yang tidak memegang kekuasaan.
*Prasangiang. Sang untuk Pria dan Sang Ayu untuk wanitanya. Merupakan turunan Bendesa Pandek yang diangkat Ksatriya oleh Dalem Ketut.
3. Wesya.
*Arya (Wesya Utama), I Gusti bagi Pria dan Ni Gusti Ayu bagi wanitanya. Yang memegang kekuasaan memakai titel/gelar I Gusti Agung begitu juga dengan anak-anaknya yang Pria. Sedangkan anak wanitanya memakai gelar Sagung. Orang memanggilnya masing-masing Anak Agung dan Sagung. Adapun asal keturunan para Arya dari tanah Jawa dibawah komando Panglima Majapahit Patih Gajah Mada. Di Bali, para Arya ini diberi kekuasaan memerintah. Misalnya, Arya Damar, Arya Wangbang. Arya Gajah Para. Terdapat di daerah Badung, Mengwi dan Tabanan. Namun seiring pertambahan n mobilitas penduduk saat ini keturunan mereka tersebar di berbagai penjuru.
*Catatan: Perhatikan gelar Anak Agung didaerah-daerah Badung, Tabanan, dan Mengwi berbeda dengan titel Anak Agung di daerah Gianyar, Bangli dan Klungkung. Perbedaan disini bukan kedudukannya, hanya penyebutannya saja. Ingat semua manusia adalah sama di mata Tuhan.!
* Gusti(tanpa jajaran I). Untuk Pria disebut Gusti dan Wanita disebut Gusti Ayu. Merupakan keturunan para Arya Jawa yang tidak memegang kekuasaan memerintah(pada massa itu).
* Gusti. Gusi atau Si untuk Pria dan wanita dan Si Luh untuk wanitanya.Merupakan keturunan Wesya Jawa.
CATATAN PENTING
Anak Agung dan Cokorda selain merupakan titel juga nama jabatan dari RAJA-RAJA di Bali, yang kemudian sesudah Pemerintah Belanda memulihkan kembali kedudukan para Raja itu sebagai ZELFBESTUURDER(Kepala Pemerintahan Daerah Swapraja) dalam tahun 1938, diresmikan lagi bagi nama Jabatan mereka. Adapun rinciannya yaitu:
*I Dewa Agung: Bagi ZELFBESTUURDER Swapraja Klungkung
*Anak Agung Agung: ZELFBESTUURDER Swapraja Karangasem
*Cokorda : ZELFBESTUURDER Swapraja Badung dan Tabanan
*Anak Agung : ZELFBESTUURDER Swapraja Bangli, Buleleng, dan Jembrana
Dengan demikian sebenarnya hanya yang menjadi ZELFBESTUURDER(KEPALA PEMERINTAHAN DAERAH SWAPRAJA) sajalah yang berhak memakai titel jabatan( Ambtstitel): Cokorda atau Anak Agung tapi dalam prakteknya, putra-putri-nya pun secara kurang tepat memakai titel itu juga. Titelnya yang tepat adalah: I Gusti Agung untuk Badung/Tabanan dan I Gusti untuk Buleleng/Jembrana.
Menurut penulis, apapun itu, apa yang diwarisi sekarang oleh kita semua, adalah cultural heritage yang tiada duanya yang menjadi sub bagian keunikan Bali. Di zaman global ini yang menentukan status sosial seseorang dalam tata pergaulan global adalah pemikirannya, tutur katanya dan perbuatannya. Dalam ajaran agama Hindu ada sebutkan Tri Kaya Parisudha( Tiga ajaran tentang bagaimana berfikir, berkata dan berbuat yang baik dan benar). Pedoman ini seyogyanya menjadi landasan generasi muda Hindu dalam mengarungi samudera pergaulan sosial global yang penuh tantangan dewasa ini. Semoga pikiran yang baik datang dari segala arah.
***Catatan ini bersumber dari buku: Aneka Catatan Tentang Hukum Adat Bali oleh Mr.(Sarjana Hukum jaman jadul), Gde Panetje terbitan CV. Kayumas, Cetakan I Tahun 1986
Tidak ada komentar:
Posting Komentar