Ada pribahasa Indonesia berbunyi: “Mengharap hujan datang, air di tempayan ditumpahkan”.
Mungkin pribahasa serupa pernah didengar oleh para pembaca. Yang kurang
lebih artinya, membuang atau mengorbankan hal sederhana yang sudah ada
dengan harapan mendapat hal yang lebih besar, namun pada akhirnya tidak
dapat apa-apa. Punya sedikit air di tempayan, sembari berharap hujan
datang untuk mendapat air lebih banyak, air di tempayan ditumpahkan,
tetapi hujan tidak turun-turun dan akhirnya tidak punya air sedikit pun.
Pada umumnya, orang yang seperti itu
adalah orang yang terlalu ambisius untuk memuaskan diri dengan
benda-benda material. Alih-alih ingin mendapatkan yang lebih dari yang
sudah ada, akhirnya tidak dapat apa-apa. Tetapi, tidak dapat dipungkiri
juga bahwa ada orang yang memang sudah pasti bisa mendapatkan yang lebih
baik dari yang sudah ada. Ambil contoh di Bali. Bali sering menjadi
tempat launching motor-motor keluaran baru. Mengapa? Ya karena Bali menjadi daerah yang konsumtif terutama kendaraan roda dua matic.
Begitu ada keluaran baru, banyak orang Bali langsung menjual motor yang
sudah ada (walau masih terbilang baru) hanya untuk mendapatkan yang
lebih baru. Seperti yang saya katakan tadi, mereka mampu mendapat yang
lebih dari yang sudah ada. Jadi, dapat dikatakan pribahasa “Mengharap hujan datang, air di tempayan ditumpahkan” tidak berlaku bagi mereka. Betul tidak?
Bhagavad-gita 8.28: Orang yang mulai
mengikuti jalan bhakti tidak kekurangan hasil yang diperoleh dari
mempelajari Veda, melakukan korban suci dengan kesederhanaan dan
pertapaan, memberi sumbangan
atau mengikuti kegiatan di bidang filsafat atau kegiatan yang
dimaksudkan untuk membuahkan hasil atau pahala. Hanya dengan melakukan
bhakti, ia mencapai segala hasil tersebut, dan akhirnya ia mencapai
tempat tinggal kekal yang paling utama.
Adalah bijaksana apabila daya beli itu
dialihkan untuk dijadikan sebagai sumbangan yang tulus ikhlas. Sumbangan
adalah sesuatu yang sangat berarti bagi banyak orang sekaligus yang
kurang mampu. Jika dibandingkan dengan kepuasan indria kita semata,
cobalah kita bertanya kepada hati nurani kita yang paling terdalam, mana
yang lebih baik?
Bhagavad-gita 2.55: Kepribadian Tuhan
Yang Maha Esa bersabda: O Partha, bila seseorang meninggalkan segala
jenis keinginan untuk kepuasan indria-indria, yang muncul dari tafsiran
pikiran, dan bila pikirannya yang sudah disucikan dengan cara seperti
itu hanya puas dalam sang diri, dikatakan ia sudah berada dalam kesadaran rohani yang murni.
Menurut ajaran yang telah kita dapat, tujuan hidup kita selain jagadhita
(kesejahteraan di dunia berdasar dharma) juga adalah moksa. Jika kita
terikat terus dengan benda-benda material, apa bisa kita mencapai moksa
kelak? Kapan kita harus belajar kerohanian? Orang kebanyakan bilang
bahwa untuk mempelajari kerohanian adalah saat kita sudah tua.
Sesungguhnya pandangan ini salah besar. Kerohanian adalah ajaran dasar.
Seperti bela diri, kuda-kuda adalah ajaran dasar begitu pula dalam
menjalani hidup ini, dharma atau kerohanian adalah dasar.
Dalam Catur Purusa Artha, Dharma adalah
kebutuhan paling mendasar. Dharma artinya adalah kebutuhan berupa
pengetahuan tentang kebenaran. Dharma adalah penunjang dalam memenuhi
kebutuhan berikutnya yaitu Artha (harta benda) dan Kama (keinginan
berumah tangga). Dalam Catur Asrama, langkah dasar atau langkah awal
yang harus ditempuh adalah Brahmacari. Apa yang dituntut selama menjadi
Brahmacari? Tiada lain adalah pengetahuan tentang kebenaran atau Dharma
itu sendiri. Dengan bekal pengetahuan Dharma yang didapat dalam jangka
umur + 0-25 tahun, maka masa-masa Grhasta dalam kaitannya dengan pemenuhan kebutuhan Artha dan Kama dalam jangka umur +
26-50 tahun dapat dijalani berdasarkan kebenaran. Jika kita terbiasa
dengan pengetahuan rohani atau kebenaran sejak kecil, maka semasa tua
kita telah mampu menerima ajaran kesempurnaan sehingga pada akhirnya
kita akan mencapai moksa.
Dalam serba kekurangan kita perihal
materi, kita harus tetap puas dengan apa yang sudah ada. Dalam serba
kelebihan pula perihal materi, ingatlah bahwa masih ada saudara-i kita
yang sangat membutuhkannya di luar sana. Tidak dapat dipungkiri pula,
memang menjadi bijaksana itu sulit sekali. Tetapi, jika kita mau kita
pasti bisa. (There is a will, there is a way). Mungkin ada yang bertanya, mengapa saya
menulis tentang hal semacam ini? Ini adalah bentuk rasa prihatin saya
akan kenyataan yang terjadi di dalam masyarakat Hindu, yaitu di Bali.
Jika kita ke RS Sanglah di Bali, kita akan banyak menemukan para
misionaris agama lain yang siap membantu membiayai pengobatan untuk mereka
yang tidak mampu. Memang tujuan sampingannya adalah untuk
meng-konversi-kan mereka. Namun, cobalah lihat sisi baiknya. Mereka masih
punya rasa ingin membantu sesama manusia. Di sudut Bali yang lain,
orang-orang itu membangun berbagai macam lembaga yang siap membantu
kehidupan orang Hindu Bali yang kurang mampu. Biaya sekolah dan
kehidupan sehari-hari ditanggung oleh mereka. Apa boleh buat? Rasa berhutang budi maka mereka meletakkan agama lamanya dan mengambil agama baru.
Apa kita lupa dengan ajaran Pawongan?
Pawongan adalah bagian dari ajaran Tri Hita Karana yang artinya hubungan
harmonis dengan sesama manusia. Sepertinya Pawongan sama sekali tidak
diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam berbagai aspek kehidupan
pun, umat Hindu menghalalkan segala cara dalam persaingan untuk menjadi
lebih tinggi dalam prestise (prestise tidak sama dengan prestasi).
Ibarat kepiting, untuk naik, dia menginjak-injak temannya. Mengapa kita
sesama Hindu tidak saling membantu? Saling menggenggam tangan satu sama
lain untuk menuju kesejahteraan merata. Andaikata umat Hindu sudah tergerak
untuk menerapkan Pawongan seperti itu. Tetap jangan hanya menjadikan
materi sebagai fokus utama, tetapi juga harus diseimbangi dengan
pengetahuan tentang kebenaran, pengetahuan tentang kerohanian,
pengetahuan tentang Dharma. Sempat ada yang mengatakan “apa perlu diekspos bahwa orang Bali sudah
menyumbang?” Sebaiknya kita akui saja bahwa kita sebenarnya jauh dari
yang namanya bersedekah atau melakukan sumbangan.
Om Shantih Shantih Shantih Om,
Sumber : Vedasastra.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar