Tidak ada hal yang paling kita kenal selain waktu, akan tetapi
tidak ada hal lain yang lebih tidak diketahui selain waktu. Kita semua
mengetahui tentang adanya sang waktu, dan ia menyelimuti kita, dan ia
berlalu senantiasa, namun tepatnya berapa waktu yang masih tersisa tetap
sebagai rahasia yang tidak diketahui oleh kebanyakan umat manusia.
Tidak
ada hal lain yang mengadili kegiatan kita sehari-hari setegas sang
waktu, namun sangat mengherankan, kita sedikit sekali berpikir tentang
dia. Namun demikian, kehidupan kita tergantung sepenuhnya kepada sang
waktu. Waktu sedang menggerakkan kita, membentuk kita, mencuri dari
kita, dan pada akhirnya akan menghancurkan kita. Waktu tak
henti-hentinya mendorong kita ke depan dan memaksa kita untuk patuh,
tidak memberikan kita kesempatan untuk berhenti, berubah, atau bahkan
mempengaruhi sumbernya.
Kita
telah belajar untuk menghitung dan mengukur waktu, membagi dan
menyimpan atau menghabiskannya. Namun, kita tetap begitu dipermainkan
olehnya sehingga kita tidak mempunyai waktu untuk berpikir tentang
definisi atau tujuan dari waktu yang maha-perkasa, yang berada di
mana-mana. Kita tidak mengetahui jam berapa dan untuk apa kita berada di
sini. Biasanya kita melihatnya hadir begitu saja tanpa bertanya mengapa
kita diikat olehnya, apa yang seharusnya dipelajari darinya, atau
bagaimana caranya kita melepaskan diri dari cengkeramannya. Bahkan kita
dengan bangga mengklaimnya sebagai “waktu kita,” seakan waktu adalah
ciptaan atau milik kita, tidak menyadari bahwa kita adalah budaknya.
Jadi, bertanya tentang sifat waktu bukan hanya pertanyaan dangkal dan teoritis belaka kepada
ilmuwan atau filosof rohani. Melainkan, pertanyaan ini akan membawa
kita langsung tepat kepada intisari dari kehidupan kita. Ini adalah soal
hidup dan mati, pertanyaan tentang asal mula dan tujuan dari dunia yang
terwujud dan keberadaan kita di dalamnya.
Kita
harus menginsyafi sifat sementara dan berkedip-kedip dari hal-hal yang
tercipta di dalam sang waktu, termasuk badan, pikiran, perasaan,
keinginan, kegiatan dan prestasi kita. Keinsyafan ini tidak dimaksudkan
untuk melemparkan kita ke dalam samudera kebodohan dan penyesalan atau
menyalakan hawa nafsu untuk bertindak, akan tetapi untuk membuka mata
kita kepada dimensi yang bebas dari pengaruh waktu, atau kekekalan.
Kekekalan bukanlah ekspansi dari waktu material yang tak terbatas.
Melainkan ia adalah melampaui waktu material dan tempat tujuan dari
kehidupan manusia. Dalam hal ini, setiap pembicaraan yang serius
mengenai waktu pada akhirnya akan membawa kita kepada agama, dan semua
usaha untuk mengerti gejala waktu secara terpisah dengan Tuhan pasti
akan gagal.
Apakah Waktu tersebut?
Ilmu
pengetahuan dan teknologi modern lebih banyak mengacu kepada
penghitungan dan pengukuran waktu, sedangkan mendefinisikan gejala waktu
selalu menjadi urusan ilmu agama dan filsafat.
Homer,
Pythagoras, Heraclitus, Parmenides, Plato, Aristotle, Lucretius,
Seneca, dan Plotinus adalah contoh dari para pemikir jaman kuno yang
menonjol yang mencoba untuk menggenggam makna dari waktu. Kemudian pada
abad pertengahan, St. Augustine, salah seorang pastur yang berpengaruh,
menyelidiki mata pelajaran ini secara mendalam. Dan pada jaman modern,
para ahli fisika dan matematika seperti Copernicus, Kepler, Descartes,
Newton, dan kemudian akhirnya Poincare dan Einstein mencoba untuk
memberikan penjelasan yang cukup mengenai waktu, dan dilakukan juga oleh
para filosof seperti Kant, Hegel, Marx, James, Nietzsche, Bergson,
Whitehead, Wittgenstein, dan Heidegger.
Tanpa
membahas teori-teori mereka, kita bisa menyimpulkan bahwa akhirnya
mereka tidak mampu memberikan penjelasan yang mendalam atau sampai
kepada pengertian yang mendalam mengenai waktu.
Waktu sebagai Kehadiran Tuhan
Kitab-kitab Veda India kuno, waktu (dalam bahasa Sanskerta disebut kala) adalah salah satu dari lima mata pelajaran filsafat dasar. (Empat yang lainnya adalah Tuhan, sang roh, dunia, dan karma). Di dalam Bhagavad-gita, buku
filsafat Veda yang utama, Krishna, Kepribadian Tuhan Yang Mahaesa,
menjawab pertanyaan mengenai waktu hanya dengan dua kata saja. Beliau
bersabda, kalo’smi, “Aku adalah Waktu.”
Jadi
Veda mendefinisikan waktu sebagai “kehadiran Tuhan” di mana-mana di
dunia ini. Dengan kata lain, adalah salah satu kemungkinan dengan mana
orang bisa merasakan dan menginsyafi Tuhan. Tuhan adalah waktu, dan
adanya waktu adalah bukti dari adanya Tuhan. Tanpa adanya Tuhan maka
tidak akan ada yang dinamakan waktu, dan tanpa adanya waktu tidak akan
ada dunia ini. St. Augustine berkata, non in tempore sed cum tempore Deus creavit caela et terram, “Tuhan menciptakan Surga dan Bumi bukan di dalam waktu, akan tetapi melalui waktu.” “
Waktu
tidak tercipta melalui sebuah “big bang” pada awal perwujudan alam
semesta seperti diklaim oleh teori-teori atheis modern tertentu.
Melainkan, Tuhan, sebagai Faktor Waktu, menciptakan jagat raya ini.
Dengan demikian waktu eksis secara independen di luar ciptaan material,
dan waktu tetap ada setelah peleburan alam semesta.
Karena
waktu adalah suatu aspek Tuhan, ia bukanlah pasif— yang “berlalu”
begitu saja. Melainkan, ia adalah sesuatu yang aktif yang memaksa segala
sesuatu untuk bergerak menuju kehancuran (akar kata Sanskerta kala adalah kal, yang
berarti “memaksa.”). Waktu adalah sesuatu yang paling berkuasa di
dunia. Ia memaksa segala sesuatu menjadi masa lalu, dan tidak ada orang
yang bisa menghentikannya ataupun keluar dari pengaruhnya. Oleh karena
itulah kitab-kitab Veda mengatakan bahwa waktu adalah aspek Tuhan yang
berada di mana-mana yang bisa dilihat oleh setiap orang.
Apakah Waktu Bersifat Relatif?
Beberapa
orang mengatakan bahwa waktu adalah bersifat relatif, tetapi hal ini
adalah tidak benar dan mudah sekali disalah-mengerti. Karena waktu
adalah aspek Tuhan, maka ia adalah mutlak dan berlaku universal. Hanya
pemahaman dan ukuran kita mengenai waktu saja yang bersifat relatif
disebabkan oleh badan material kita. Sebagai contoh, badan manusia
merasakan waktu dengan cara yang berbeda dengan badan seekor laron.
Demikian juga, kitab Veda menguraikan para mahluk hidup di dalam jagat
raya ini (para dewa) dengan masa hidup yang jauh lebih panjang daripada
kita. Walaupun pemahaman relatif para mahluk hidup mengenai waktu
berbeda sepenuhnya, namun demikian mereka sama-sama mengalaminya dengan
cara yang serupa. Waktu juga memaksa mereka melewati masa kanak-kanak,
masa muda, masa tua, dan akhirnya kematian. Bahkan Dewa Brahma, mahluk
hidup tertinggi di alam semesta ini, yang masa hidupnya terhitung
sekitar 311 triliun tahun, akan menjadi tua dan meninggal.
Dengan
demikian pengertian waktu menurut Veda ini memecahkan masalah filosofis
dan ilmiah yang ada di dalam benak para pemikir Eropa selama
berabad-abad: Apakah hanya ada waktu mutlak yang tunggal yang berlaku di
seluruh jagat raya ini, seperti yang diusulkan oleh Isaac Newton, atau
apakah ada banyak macam bentuk waktu yang relatif, seperti dinyatakan
oleh teori relatifitas modern?
Jawaban
Veda yaitu bahwa kedua gagasan tersebut adalah benar. Dari sudut
pandang mutlak (sudut pandang Tuhan), hanya ada waktu yang tunggal yang
berlaku secara universal. Akan tetapi para mahluk hidup memahami waktu
yang mutlak ini secara relatif, menurut jenis badan material yang mereka
miliki, dan juga kecepatan yang mereka tempuh di ruang angkasa, dan
kedudukan geografis mereka.
Waktu Material dan Spiritual
Setiap
hari kita mengalami waktu dalam tiga fase waktu yang berurutan: masa
lalu, masa sekarang dan masa yang akan datang, dan waktu selalu
mempunyai awal dan akhir. Dalam istilah Veda, kita menyebutnya sebagai
waktu material (bertentangan dengan waktu spiritual di dunia rohani).
Hal yang membahayakan dari waktu material tetap tidak bisa kita lihat.
Kita tidak bisa melihatnya secara langsung, seperti halnya kita tidak
bisa melihat kehadiran Tuhan secara langsung di dalam alam semesta
ataupun kehadiran sang roh di dalam badan. Namun demikian sama halnya
dengan Tuhan dan sang roh, kita bisa memahami sang waktu melalui
gejalanya—perubahan terus-menerus dari masa lalu, masa sekarang dan masa
yang akan datang yang memahlukkan segala sesuatu dan setiap orang.
Dalam Bhagavad-gita
(11.32) Krishna bersabda, “Aku adalah Waktu, penghancur dunia, Aku
telah turun ke sini untuk menghancurkan semua orang.” Jadi kita bisa
mengerti bahwa waktu dan Tuhan sebagai penghancur yang hebat, yang
menyebabkan kita menyesal karena kehilangan milik kita di masa lalu dan
membuat kita menginginkan sesuatu atau mengkhawatirkan apa yang mungkin
akan terjadi di masa yang akan datang. Di dunia material ini, masa lalu
dan masa yang akan datang kelihatan lebih baik karena kecemasan akibat
kehilangan yang akan datang menjambret kepuasan yang dialami sekarang.
Namun
kita tidak dipaksa untuk mengerti waktu dan Tuhan hanya dengan cara
seperti ini saja. Agama menawari kita cara yang jauh lebih menyenangkan
untuk menginsyafi waktu dan Tuhan. Kitab Veda menjelaskan bahwa di dunia
rohani, di kerajaan Tuhan, waktu hadir selamanya. Sifat-sifat masa lalu
dan masa yang akan datang dan akibat-akibat buruk dari sang waktu
(penghancuran, kegagalan, kekecewaan, halangan, frustasi, kebosanan,
penantian) yang kita alami di sini tidak ada di dunia rohani.
Waktu
spiritual mengatur berangkainya kebahagiaan rohani yang berlangsung
terus-menerus yang dialami dalam hubungan dengan Kepribadian Tuhan Yang
Mahaesa. Hubungan yang membahagiakan ini menyibukkan para mahluk hidup
di dunia rohani untuk terserap sepenuhnya kepada objek pujaan mereka.
Walaupun segala sesuatu di sana adalah secara mutlak hadir selamanya,
peristiwa-peristiwa terjadi dalam suatu rangkaian keaneka-warnaan yang
penuh kebahagiaan kekal.
Oleh karena itu agama Veda meminta kita untuk menggunakan waktu kita di dalam dunia
material ini untuk melayani Tuhan dengan cinta bhakti. Dengan melakukan
demikian, kita akan membuat diri kita memenuhi syarat untuk menerima
karuniaNya. Sehingga pada akhir dari badan ini, atas kekuatan
karuniaNya, kita akan bisa diizinkan untuk pulang kembali ke dunia
rohani yang kekal, yang berada di luar ruang dan waktu material.
Sumber : http://gaurangga.wordpress.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar