Dalam
Bhagavadgita III, 42, dinyatakan, orang akan memiliki alam pikiran
jernih, apabila atman atau jiwa yang suci itu selalu menyinari budhi
atau alam kesadaran. Budhi (kesadaran) itu menguasai manah (pikiran).
Manah menguasai indria. Kondisi alam pikiran yang struktural dan ideal
seperti itu amat sulit didapat. Ia harus selalu diupayakan dengan
membangkitkan kepercayaan pada Tuhan sebagai pembasmi kegelapan jiwa.
Siwa Ratri (Ratri juga sering ditulis Latri) adalah malam untuk
memusatkan pikiran pada Sanghyang Siwa guna mendapatkan kesadaran agar
terhindar dari pikiran yang gelap. Karena itu, Siwa Ratri lebih tepat
jika disebut ”malam kesadaran” atau ”malam pejagraan”, bukan ”malam
penebusan dosa” sebagaimana sering diartikan oleh orang yang masih belum
mendalami agama.
Memang, orang yang selalu sadar akan hakikat kehidupan ini,
selalu terhindar dari perbuatan dosa. Orang bisa memiliki kesadaran,
karena kekuatan budhinya (yang menjadi salah satu unsur alam pikiran)
yang disebut citta. Melakukan brata Siwa Ratri pada hakikatnya
menguatkan unsur budhi. Dengan memusatkan budhi tersebut pada kekuatan
dan kesucian Siwa sebagai salah satu aspek atau manifestasi Sang Hyang
Widhi Wasa, kita melebur kegelapan yang menghalangi budhi dan menerima
sinar suci Tuhan. Jika budhi selalu mendapat sinar suci Tuhan, maka
budhi akan menguatkan pikiran atau manah sehingga dapat mengendalikan
indria atau Tri Guna.
Siwa Ratri pada hakikatnya kegiatan
Namasmaranâm pada Siwa. Namasmaranâm artinya selalu mengingat dan memuja
nama Tuhan yang jika dihubungankan dengan Siwa Ratri adalah nama Siwa.
Nama Siwa memiliki kekuatan untuk melenyapkan segala kegelapan batin.
Jika kegelapan itu mendapat sinar dari Hyang Siwa, maka lahirlah
kesadaran budhi yang sangat dibutuhkan setiap saat dalam hidup ini.
Dengan demikian, upacara Siwa Ratri sesungguhnya tidak harus dilakukan
setiap tahun, melainkan bisa dilaksanakan setiap bulan sekali, yaitu
tiap menjelang tilem atau bulan mati. Sedangkan menjelang tilem kepitu
(tilem yang paling gelap) dilangsungkan upacara yang disebut Maha Siwa
Ratri.
Baca juga : Makna Atribut Dewa Shiva
Untuk dapat mencapai kesadaran, kita bisa menyucikan diri
dengan melakukan sanca. Dalam Lontar Wraspati Tattwa disebutkan, Sanca
ngaranya netya majapa maradina sarira. Sanca itu artinya melakukan japa
dan membersihkan tubuh. Sedang kitab Sarasamuscaya menyebutkan, Dhyana
ngaranya ikang Siwasmarana, artinya, dhyana namanya (bila) selalu
mengingat Hyang Siwa.
Di India, setiap menjelang bulan mati
(setiap bulan) umat Hindu menyelenggarakan Siwa Ratri dan tiap tahun
merayakan Maha Siwa Ratri. Keutamaan brata Siwa Ratri banyak diuraikan
dalam pustaka berbahasa Sanskerta, Jawa Kuno dan Bali. Ini suatu
pertanda, bah-wa Siwa Ratri dari sejak dahulu sudah dirayakan baik oleh
umat Hindu di India, maupun di Jawa dan Bali. Dalam kepustakaan
Sanskerta, keutamaan brata Siwa Ratri diuraikan dalam kitabkitab Purana,
misalnya Siwa Purana, Skanda Purana, Garuda Purana dan Padma Purana.
Siwa Purana, pada bagian Jñana Samhita memaparkan keutamaan brata Siwa
Ratri dan tata-cara merayakan malam suci terbut. Di situ ada dimuat
tentang dialog antara seseorang bernama Suta dan para rsi. Dalam
percakapan tersebut, dikisahkanl seseorang yang kejam bernama Rurudruha.
Ia menjadi sadar akan dosa-dosa yang telah diperbuat setelah melakukan
brata Siwa Ratri. Berkat bangkitnya kesadarannya, ia tinggalkan semua
perbuatan dosa, lalu dengan mantap berjalan di jalan dharma.
Di
antara berbagai brata, mengunjungi tempat suci, memberi dana punya yang
mahal seperti batu mulia (emas dan permata), melakukan berbagai jenis
upacara Yajña, berbagai jenis tapa dan melakukan berbagai kegiatan Japa
atau mantra untuk memuja keagungan-Nya,semuanya itu tidak ada yang
melebih keutamaan brata Sivaratri.
Sejalan dengan pernyataan di
atas, kakawin Sivaratri Kalpa menyatakan keutamaan Brata Sivaratri
seperti diwedarkan oleh Sang Hyang Siva sebagai berikut:
”Setelah
seseorang mampu melaksanakan Brata sebagai yang telah Aku ajarkan,
kalahlah pahala dari semua upacara Yajña, melakukan tapa dan dana punya
demikian pula menyucikan diri ke tempat-tempat suci, pada awal
penjelmaan, walaupun seribu bahkan sejuta kali menikmati Pataka (pahala
dosa dan papa), tetapi dengan pahala Brata Sivaratri ini, semua Pataka
itu lenyap”.
”Walaupun benar-benar sangat jahat, melakukan
perbuatan kotor, menyakiti kebaikan hati orang lain, membunuh pandita
(orang suci) juga membunuh orang yang tidak bersalah, congkak dan tidak
hormat kepada guru, membunuh bayi dalam kandungan, seluruh kepapaan itu
akan lenyap dengan melakukan Brata Sivaratri yang utama, demikianlah
keutamaan dan ketinggian Brata (Sivaratri) yang Aku sabdakan ini”
(Sivaratri kalpa, 37, 7-8)*
Sumber Sastra itihasa Dalam Itihasa,
Sivaratri terdapat dalam Mahabharata, yaitu pada Santi Parva, dalam
episode ketika Bhisma sedang berbaring di atas anak-anak panahnya
Arjuna, menunggu kematian, sambil membahas dharma, mengacu kepada
perayaan Maha Sivaratri oleh raja Citrabhanu, raja Jambudvipa dari
dinasti Iksvaku. Raja Citrabhanu bersama istrinya melakukan upavasa pada
hari Maha Sivaratri. Rsi Astavakra bertanya:
“Wahai sang raja,
mengapa kalian berdua melakukan upavasa pada hari ini? Sang raja
dianugerahi ingatan akan punarbhawa sebelumnya, lalu ia menjelaskan
kepada sang rsi.
“Dalam kehidupanku terdahulu aku adalah seorang
pemburu di Varanasi yang bernama Susvara. Kebiasaanku adalah membunuh
dan menjual burung-burung dan binatang lainnya. Suatu hari aku berburu
ke hutan, aku menangkap seekor kijang, namun hari keburu gelap. Aku
tidak bisa pulang, kijang itu kuikat di sebatang pohon. Lalu aku naik
sebatang pohon bilva. Karena aku lapar dan haus, aku tidak dapat tidur.
Aku teringat anak istriku yang malang di rumah, menungguku pulang dengan
rasa lapar dan gelisah. Untuk melewatkan malam aku memetik daun bilva
dan menjatuhkannya ke tanah.” Kisah selanjutnya mirip dengan kisah
Lubdaka di Indonesia.
Purana
Sivaratri juga dimuat dalam purana-purana, yang umumnya berisi kisah-kisah pemburu yang sadar, seperti berikut:
Pertama,
Siva Purana (bagian Jnanasamhita). Pada bagian ini memuat percakapan
antara Suta dengan para rsi, menguraikan pentingnya upacara Sivaratri.
Seseorang bernama Rurudruha seperti telah disinggung di atas.
Kedua,
Skanda Purana (bagian Kedarakanda). Pada bagian Kedarakanda antara lain
memuat percakapan antara Lomasa dengan para rsi. Lomasa menceritakan
kepada para rsi tentang si Canda yang jahat, pembunuh segala mahluk,
sampai membunuh brahmana, akhirnya dapat mengerti dan menghayati apa
yang disebut ”kebenaran” Dalam Skanda Purana juga diceritakan kisah
seorang pemburu yang identik dengan kisah pemburu dalam Santi Parva.
Ketiga,
Garuda Purana (bagian Acarakanda). Bagian ini memuat uraian singkat
tentang Sivaratri diceritakan bahwa Parvati bertanya tentang brata yang
terpenting. Siva menguraikan tentang pelaksanaan vrata Sivaratri.
Seorang raja bernama Sudarasenaka pergi berburu ke hutan bersama seekor
anjing. Rangkaian kisah inipun tidak berbeda dengan kisah pemburu di
atas.
Keempat, Padma Purana (bagian Uttarakanda). Bagian
ini memuat percakapan raja Dilipa denganWasista. Wasista menceritakan
bahwa Sivaratri adalah vrata yang sangat utama, antara bulan Magha dan
Palghuna. Dalam Padma Purana, pemburu itu bernama Nisadha. Berkat vrata
Sivaratri yang dilakukannya berhasil membawanya ke Siva loka.
*
Jika dibaca secara literal paragraph di atas ini memberi kesan betapa
mudahnya menebus dosa, termasuk dosa berat, seperti membunuh. Teks
seperti ini harus ditafsirkan agar sesuai dengan filosofi hukum karma.
Tanpa itu, upaya untuk membangun manusia bermoral dan bertanggung jawab
atas tindakannya akan gagal. Seperti yang kita lihat sekarang di negara
kita: ritual agama begitu semarak, gairah beragama begitu tinggi, sering
diwarnai konflik fisik, tetapi moral bangsa kita tertinggal jauh dari
moral bangsa-bangsa yang kita anggap sekuler.
Baca Juga : Sadhana Berjapa Om Namah Shivaya
Baca Juga : Sadhana Berjapa Om Namah Shivaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar