Wuku Kuningan, umat Hindu merayakan Kuningan. Berbagai simbol perang dipasang dalam merayakan Kuningan, seperti tar (senjata), sampian tamiang dan endongan. Tamiang saat Kuningan merupakan pengekspresian simbol perisai diri atau pertahanan diri dalam menghadapi tantangan global. Dalam konteks menjaga keamanan dan kenyamanan, bagaimana seharusnya umat memaknai simbol-simbol tersebut?
----------------------
Rektor Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar Gede Rudia Adiputra mengatakan, dalam sastra agama disebutkan bahwa Galungan adalah Patitis ikang jnana sandi, amariaken biaparaning idep. Itu berarti umat mesti mampu menghentikan gejolak pikiran yang destruktif dan rajasik, dengan harapan memperoleh ketenangan batin.
Dalam merayakan Galungan, umat tidak hanya berhenti pada kegiatan ritual. Tetapi berlanjut pada aksi nyata untuk menciptakan ketenangan dan kenyamanan. Demikian pula dalam merayakan Kuningan.
Sementara dalam Kuningan, berbagai simbol perang mewarnai perayaan tersebut, seperti sampian tamiang. Simbol itu dimaknai sebagai pertahanan diri. Dalam menghadapi berbagai tantangan hidup, pertahanan diri yang ampuh adalah moral dan etika serta ilmu pengetahuan. Dengan memiliki pertahanan seperti itu umat diharapkan mampu menghadapi kegelapan, kebodohan dan musuh-musuh yang ada dalam diri. Dengan mampu memerangi musuh-musuh yang bersumber dari dalam diri, maupun tekanan eksternal yang ingin merusak nilai-nilai kesucian, umat diharapkan dapat mencapai jagadhita.
Dikatakannya, dalam konteks kehidupan modern, jagadhita itu bisa diterjemahkan sebagai rasa aman, kenyamanan, kesehatan dan kesejahteraan. Rasa nyaman dan aman inilah yang mesti kita jaga bersama. Di samping itu kewaspadaan mesti terus ditumbuhkan dalam diri. Demikian pula kesehatan kita mesti dijaga dengan baik. Agar tetap sehat, hal-hal yang dapat menyebabkan sakit perlu diwaspadai dan dihindari. Agar kesejahteraan bisa dicapai, bekerjalah.
Hal yang sama dikatakan Rektor Universitas Hindu Indonesia (Unhi) Denpasar IB Gunadha. Salah satu simbol pertahanan diri yang dipasang saat Kuningan adalah tamiang. Dalam konteks menjaga keamanan Bali, masyarakat hendaknya memiliki kebertahanan diri. Kebertahanan itu meliputi peningkatan kewaspadaan dan strategi menjaga keamanan. Dalam kaitan itu semua pihak memiliki tanggung jawab yang sama. Masyarakat hendaknya merasa terpanggil untuk memelihara Bali yang selama ini telah memberikan banyak hal bagi kehidupan.
Dalam menjaga dan memelihara Bali, perlu ada kesamaan pandang. Dalam menciptakan rasa aman, umat di Bali menggunakan dua pendekatan baik sekala maupun niskala. Sekala-nya, masyarakat berupaya menciptakan rasa aman di lingkungan masing-masing, ujar mantan Sekjen Parisada Pusat ini.
Menciptakan rasa aman itu mesti dimulai dari pribadi masing-masing. Dengan berbekalkan kesadaran dari dalam diri, niscaya keamanan bisa tercipta.
Munculnya ketidakamanan dan kenyamanan karena perbuatan teroris, hendaknya menjadikan bahan mulatsarira ke depan. Masyarakat bersama aparat mesti terus bergandengan tangan menjaga Bali agar pulau ini kembali memberi rasa aman dan nyaman bagi penduduknya. Secara niskala, umat mesti terus berdoa memohon ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi agar selalu diberkati kerahayuan.
Ketajaman Pikiran
Agamawan yang anggota DPD-RI Ida Bagus Gede Agastia mengatakan, dalam merayakan Kuningan, bentuk ekspresi budaya masyarakat didominasi warna kuning. Perayaan Kuningan mengambil waktu pagi hari, ketika matahari mulai terbit. Memang, pancaran kesucian atau situasi keheningan didapat pada waktu tersebut.
Pada saat itu dipasang hiasan ter atau panah (senjata). Panah itu sesungguhnya simbol ketajaman pikiran (manah) atau tingkat kualitas pikiran. Kata kunci dalam Kuningan adalah suddha jnana atau kesucian pikiran. Orang yang memiliki tingkat suddha jnana akan menemukan siddha (keberhasilan) yang disebut siddhi. Dengan demikian umat tak akan memiliki berantha jnana atau pikiran kotor alias diselimuti kebingungan.
Kuningan berasal dari kata kauningan. Hal itu didapat ketika masyarakat memenangkan musuh yang ada dalam tubuh yang disebut dasa indria. Kuningan intinya memuja Tuhan dalam keheningan. Dalam keheningan itu diharapkan muncul div atau sinar suci Tuhan.
Selain panah, dalam Kuningan dipasang endongan yang merupakan simbol perbekalan (logistik) dalam perang. Sementara dalam konteks keberagamaan, endongan itu bermakna bekal dalam mengarungi kehidupan seterusnya. Bekal itu tiada lain adalah karma atau hasil dari perbuatan, apakah ia berupa subha karma (perbuatan baik) atau asubha karma (perbuatan buruk). Jadi, hanya karma diri sendirilah sebagai bekal utama untuk menuntun menuju perjalanan selanjutnya, ujarnya.
Selain endongan, kata Agastia, dalam merayakan Kuningan juga dipasang tamiang. Tamiang itu merupakan lambang perisai diri. Untuk menjaga diri dari serangan musuh dasa indria, diperlukan perisai.
Apa itu? Perisai itu tiada lain adalah pengendalian diri dan ajaran agama. Selain ajaran agama, sebagai penuntun sekaligus benteng penjagaan diri, adalah perbuatan punia dan kerthi -- pemberian yang tulus kepada sesama maupun yadnya ke hadapan Sang Pencipta.
Karena itu, dalam perayaan Kuningan yang dipuja adalah Tuhan dalam manifestasinya sebagai Dewa Indria -- dewa pengendalian dasa indria. (lun)
Source : Balipost
Tidak ada komentar:
Posting Komentar