Dewasa ini kehidupan manusia dihadapkan pada permasalahan menyangkut hak asasi manusia, etnis, dan agama.. Kondisi ini menyebabkan panilaian terhadap manusia cenderung manganggap sesama manusia berbeda hanya karena perbedaan itu semua. Dalam hal ini kearifan umat Hindu menyodorkan solusi mencari jalan keluar memecahkan masalah tersebut.
Agar hipokrit (munafik sosial) kehidupan beragama tidak berlanjut, dituntut
kesadaran semua pihak untuk dapat saling bertoleransi satu sama lain.
Pendidikan merupakan faktor penting untuk menumbuhkan kesadaran itu. Mendidik
dengan mengandalkan kata-kata saja tentu kurang menarik, karena itu diperlukan
media pendidikan untuk menyampaikan pesan-pesan. Pesan dapat berupa nilai,
yaitu suatu acuan yang digunakan untuk berpikir dan bertindak. Salah satu
penerapannya ialah dengan memanfaatkan kearifan local dari falsafah Hindu yang
ada di Bali, yaitu saput poleng sebagai medianya. Saput poleng adalah selembar
kain bercorak kotak-kotak dengan warna putih dan hitam seperti papan catur.
Menurut tradisi ada tiga jenis saput poleng, antara lain meliputi saput poleng
saput Rwa Bhineda, saput poleng Sudhamala, dan saput poleng Tridatu. Saput
poleng Rwa Bhineda berwarna putih dan hitam. Warna gelap (hitam) dan terang
(putih) merupakan suatu cerminan dari dharma dan adharma. Saput poleng
Sudhamala berwarna putih, hitam, dan abu. Abu sebagai peralihan dari warna
hitam dan putih yang mengantarai keduanya. Artinya menyelaraskan simfoni dharma
dan adharma. Saput poleng Tridatu berwarna putih, hitam, dan merah. Merah
merupakan simbol rajas keenergikan, hitam adalah tamas (kemalasan) dan putih
simbol satwam (kebijaksanaan, kebaikan).
Saput poleng sebagai simbol masyarakat Hindu di Bali digunakan oleh para
pecalang (perangkat keamanan), patung penjaga pintu gerbang, dililitkan pada
kul-kul atau kentongan, dikenakan oleh balian atau pengobat tradisional,
dihiaskan pada tokoh-tokoh ithiasa (Merdah, Tualen, Hanoman, dan Bima), dikenakan
oleh dalang wayang kulit ketika melaksanakan pangruwatan atau penyucian,
dililitkan pada tempat suci yang diyakini berfungsi sebagai penjaga. Pada
intinya saput poleng digunakan sebagai simbol penjagaan.
Implementasi falsafah ini dapat memberikan kita sebuah cerminan yang
terimplikasi terhadap kehidupan beragama. Warna putih yang secara umum
merupakan suatu simbolik dari satwam yang secara umum merupakan suatu simbolik
dari kekuatan dharma yang sudah sepatutnya memberikan cerminan kepada kita bahwa
dalam hidup beragama kita harus memegang teguh prinsif dharma yang senantiasa
memberikan kedamaian. Hal ini tercermin dari sikap toleransi untuk menghindari
kemunafikan sosial (hipokrit sosial) yang ujung-ujungnya mengakibatkan
perpecahan diantara kita semua. Dalam Rg. Veda X.191. 3-4 menyatakan bahwa pada
hakekatnya semua manusia adalah bersaudara. Vasudaiva Kutumbakam, semua mahluk
adalah bersaudara. Persaudaraan umat manusia ini disebabkan oleh satu asal dan
kembalinya bagi setiap mahluk dan alam semesta, sama-sama menikmati kehidupan
di karibaan bumi pertiwi tercinta, oleh karena itu Tuhan Yang Mahaesa, Sang
Hyang Widhi mengamanatkan kepada kita untuk hidup dalam suasana damai penuh
kebahagiaan dalam persaudaraan yang sejati.
Warna hitam merupakan simbolik dari tamas (kemalasan) yang merupakan kekuatan
adharma yang senantiasa ada jika dharma ada dan ini merupakan suatu hukum ilahi
yang senantiasa berjalan terus. Kekuatan adharma tidak sepatutnya
disalah-kaprahkan, namun seharusnya kita mengontol diri kita agar tidak membuat
suatu tindakan yang dapat memprovokasi orang lain.
Disamping itu pula, warna abu pada saput poleng memberikan suatu implemtnasi
terhadap suatu penyelarasan antara kekuatan dharma dan adharma. Jadi sikap
seperti ini merupakan suatu cerminan sikap toleransi kehidupan beragama yang
memberikan keselarasan dari sisi baik dan buruk. Warna merah merupakan simbol
keenergikan (rajas) yang semestinya kita cerminkan terhadap semangat untuk
membina kerukunan umat beragama. Bukannya semangat yang kita miliki
dipergunakan untuk mengompori semua perbedaan yang akhirnya akan membakar dan
membawa kita ke abu keharmonisan. Setiap permasalahan yang muncul bila semakin
dikompor-kompori, maka akan semakin parah. Untuk itulah, keenergikan tersebut
jangan sampai disalahgunakan dalam suatu hal yang tidak baik.
Seperti yang termuat Atharvaveda, XII.1. 45 dinyatakan : “Beberapa pengucapan
bahasa yang berbeda-beda dan pemeluk agama yang berbeda-beda pula dan sesuai
dengan keinginan. Mereka tinggal bersama di bumi pertiwi yang penuh
keseimbangan tanpa banyak bergerak, seperti sapi yang selalu memberikan susunya
kepada manusia. Demikian juga ibu pertiwi selalu memberi kebahagiaan melimpah
pada semua umat manusia”. Terungkap juga dalam Weda Sruti : “Seseorang yang menganggap
seluruh umat manusia memiliki atma yang sama dan dapat malihat semua manusia
sebagai saudaranya, orang tersebut tidak terikat dalam ikatan dan bebas dari
kesedihan” (Yayurweda, 40.7). Kedua mantra tersebut dengan sangat gamblang
menyatakan bahwa manusia hidup di lingkungan majemuk dapat tinggal dalam
keharmonisan. Juga, memberikan kearifan pada umat dalam menyikapi persepsi
manusia berbeda karena warna kulit, ras, etnis, dan agama adalah sebuah
keluarga besar. Artinya tidak hanya satu agama yang diagungkan, dijayakan,
tetapi semua agama dipandang sebagai kebenaran. Semua berhak hidup di bumi
pertiwi ini. Kemajemukan tersebut seperti pelangi berwarna-warni ciptaan Tuhan.
Sangat indah dan menyejukkan sehingga mampu menumbuhkan kedamaian hati umat manusia.
Kemajemukan tidak untuk dipertetangkan karena kemajemukan adalah keharmonisan
dan keindahan, bukan kekacuan atau kesemrawutan. Spritualitas kearifan ini
dalam diri manusia adalah sama. Di samping itu semua umat manusia berkeinginan
hidup berdampingan secara damai di muka bumi pertiwi yang kita cinta ini. Jika
spritualitas ini dapat dijalankan sebagai landasan berpikir dan pola tindakan,
maka manusia akan melupakan perbedaan yang ada dan sekaligus tidak
mempertentangkan perbedaan tersebut. Hal ini sangat relevan dan arif dalam
kehidupan bangsa Indonesia yang sangat kental warna kemajemukan yang diwarnai
oleh beragamnya kehidupan masyarakat.
Nilai-nilai filosofis yang demikian tinggi dalam saput poleng dapat dijadikan
cermin dalam mempertahankan kerukunan kehidupan beragama. Hal tersebut perlu
diterapkan agar kita semua terhindar dari hipokrit sosial yang dapat memecah
belah kita semua. Keinginan (rajas) yang tak terbatas agar diimbangi sifat
mengerem (tamas) serta dikontrol dengan kebijaksanaan (satwam). Keseimbangan
rajas dan tamas yang didominasi satwam secara perlahan akan meningkatkan harkat
kemanusiaan (Manawa) dan sifat keraksasaan (danawa) menuju sifat kedewataan
(madawa). Dan semoga kita semua diberikan kedamaian… ( Kumpulan dari berbagai sumber).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar