Suatu kisah di sebuah Desa, ada seorang saudagar yang kaya karena peninggalan orang tuanya. Rumahnya banyak. Kebunnya luas. Karena kekayaannya itu, saudagar itu mempunyai banyak teman. Bahkan Raja pun mengenalnya dengan baik. Sering ia menginap di istana sebagai tamu Raja.
Namun Malang sekali. Gempa bumi yang dahsyat yang disertai banjir besar meludeskan harta benda saudagar itu. Ia pun jatuh miskin. Istrinya lalu menasihatinya agar mencari pekerjaan. Tetapi saudagar itu lebih suka meminta bantuan pada teman-temannya. Kasihan. Teman-temannya cuma menyatakan duka cita atas kemalangannya, namun tak seorang pun mau membantunya.
Saudagar itu akhirnya menemui Raja untuk meminta bantuan. Raja amat iba dengan kemalangannya. Diam-diam ia memerintahkan seorang putranya mengisi sebuah labu dengan emas. Labu itu lalu diberikannya pada si Saudagar.
Saudagar itu pulang dengan membawa labu. Ia sangat kecewa dengan apa yang telah diberikan Raja padanya. Sungguh ia tak menduga kalau Raja hanya memberinya sebuah labu. Ketika menyeberangi sungai kecil, diberikannya labu itu pada seorang musafir sebagai derma.
Sesampainya di rumah....
“Apa yang kau dapat dari Raja?” tanya istrinya setiba ia di rumah.
“Sebuah labu,” kata si Saudagar. “Aku telah memberikannya pada seorang musafir.”
Esoknya, saudagar itu kembali menghadap Raja.
“Sahabatku, kau apakan labu yang kuberikan padamu kemarin?” tanya Raja.
“Maafkan hamba, Tuanku,” kata si Saudagar. “Hamba telah memberikan labu itu pada seorang musafir yang hendak pergi ke kota suci Benares.”
“Sangat beruntunglah orang yang telah mendapatkan labu itu,” ucap Raja, sambil tersenyum.
“Maksud Tuanku?”
“Sahabatku,” ucap Raja, “aku tak ingin membuatmu malu di depan banyak orang. Diam-diam aku memerintahkan seorang putraku mengisi labu dengan emas, lalu memberikannya padamu.”
Seketika si Saudagar menyesali yang telah dilakukannya. Ia berlutut memohon ampun pada Raja. Ucap Raja, “Berdirilah, aku akan memberimu sebuah labu lagi yang akan menentukan nasibmu.”
Si Saudagar menerima labu itu. Ia lalu pulang dengan penuh suka cita. Sayang. Saat saudagar itu menyeberangi sungai kecil itu ia tergelincir karena terlalu tergesa. Labu terlepas dari tangannya dan lenyap dihanyutkan air. Penuh sedih si Saudagar pulang. Diceritakannya yang telah dialaminya pada istrinya.
“Suamiku,” kata si Istri, “itu merupakan tanda Dewa tak berkenan kau menerima derma. Mulai besok, bekerjalah. Bekerja itu mulia, suamiku.”
Saudagar itu menuruti kata istrinya. Ia membuka sebuah warung. Ia bekerja dengan keras dan menyukai pekerjaannya. Beberapa tahun kemudian, ia pun sudah menjadi kaya lagi seperti dahulu. Namun harta yang kini dimilikinya adalah hasil jerih payahnya sendiri. Saudagar itu sangat senang dan bangga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar