Suasana pagi cerah sekali, terdengar kicauan burung-burung dan cahaya matahari pagi yang indah, tampak si Tetes air sedang berseluncur mengikuti arus sungai sambil membawa sebungkus perbekalan. “Cihuiii..asyik, asyiknya!” teriak dia sambil terus berseluncur mengikuti arus sungai. Si Capung menyapanya, “Hai Tetes! kamu hendak kemana?” “Hui..hui…saya mau cari Mama…!” teriak si Tetes membalasnya sambil terus maju berseluncur.
Di belokan sungai, Paman Pohon bertanya, “Hai Tetes, kamu hendak kemana?” “Saya ingin mencari Mama”, jawab si Tetes. Paman Pohon bertanya lagi, “Siapakah Mamamu?” “Samudera. Mamaku adalah samudera. Apakah Paman pernah mendengarnya?” Si tetes balas bertanya. Paman Pohon hanya mengelengkan kepala, “Paman tidak pernah melihat samudera. Dari lahir, Paman sudah disini sampai sekarang.” “Baiklah Paman, selamat tinggal!” si Tetes melambaikan tangan melanjutkan perjalanannya. Tidak seberapa jauh, si Tetes hampir tergelincir jatuh karena ada air terjun, untung ada Paman Batu membantunya, “Hati-hatilah nak!”.
Diperjalanan berikutnya, si Tetes disapa oleh Kakak Burung, “Hai Tetes, hendak kemana?” “Hai, saya mau mencari mama!” kata si Tetes. “Siapa mamamu?” tanya Kakak Burung lagi. “Samudera. Apakah Kakak Burung pernah bertemu samudera?” si Tetes penasaran. “Samudera? Oh..saya pernah bertemu samudera”, kata si burung. Tentu si Tetes sangat senang, dengan tergesa-gesa mendesak Kakak Burung, “Ayo, ayo ceritakan padaku, seperti apakah Mama Samudera itu?” Kakak Burung pun bercerita, “Tubuh samudera luuarrr biasa besarnya, di dalam perutnya terisi banyak sekali makhluk hidup. Samudera juga senantiasa melindungi makhluk hidup, dan lagi pada malam hari, Mama Samudera masih melantunkan alunan musik agar semua makhluk dapat tidur lelap.” Si Tetes pun senang, “Benarkah? Wuih hebatnya! Rasanya ingin cepat-cepat bertemu Mama Samudera!” “Semoga berhasil!”, kata Kakak Burung sambil terbang pergi. “Selamat tinggal! , si Tetes Air kembali melanjutkan perja-lanannya.
Setelah melewati berbagai desa, hutan dan kota, si Tetes terdampar disebuah tempat asing. Tetes Air mulai merasakan bahaya, “Tempat ini sungguh aneh, mengapa tidak ada bunga ataupun pohon? O.o…mengapa tubuhku makin lama makin menge-cil…aduh, bagaimana nih?” “Saya adalah gurun pasir”, tiba-tiba terdengar suara. Si tetes mulai panik, “Saya sudah hampir hilang tertelan gurun pasir, bagaimana ini Paman?” Paman Gurun berkata, “Jika si Angin dapat menerbangkan pasir, tentu juga dapat menerbangkanmu si Tetes Air.” “Tetapi Kakak Angin bisa menerbangkan pasir, sedangkan saya kan tidak bisa terbang”, kata si Tetes. Kakak Angin datang, “Tenang, dengarlah dulu. Pertama-tama kamu harus mengubah wujudmu. Biarkan kamu dijemur matahari hingga kering, setelah itu, kamu akan berubah menjadi molekul uap air yang tak terhitung banyaknya, barulah saya dapat meniupmu melewati gurun ini untuk bertemu dengan Mamamu.” “Apa?! Kalau tubuhku tercai berai, tentu sangat sakit kan”, ratap si Tetes. Paman Gurun menghiburnya,” Tetes Air, kamu harus belajar tabah dan tegar barulah bisa bertemu dengan Mama yang kamu rindukan selama ini.” Si Tetes masih ragu, “Tapi ketika saya bertemu dengan Mama, apakah beliau akan mengenaliku?” Kakak Angin menjawabnya, “Anak bodoh, Mamamu pasti akan mengenalimu, karena bentukmu persis seperti dirinya. Kamu akan langsung turun ke dalam pelukannya, dan berbaur menjadi satu tubuh serta tak akan terpisahkan lagi. Si Tetes pun membiarkan dirinya di jemur kering oleh matahari menjadi ribuan molekul uap air, lalu dia duduk diatas kakak angin yang menerbangkannya melewati gurun pasir.
Sang Mama Samudera membentangkan tangannya lebar-lebar menyambut, “Anakku, Mama telah lama menunggumu.” Si Tetes kecil turun berupa hujan jatuh ke pelukan sang Mama Samudera.
Adik-adik, tahukah kalau di alam semesta yang luas ini, juga ada Mama Alam Semesta yang menunggu kita semua untuk kembali ke pelukannya. Oleh karenanya kita harus tabah merubah diri kita sebaik Mama Alam Semesta, sehingga bisa kembali pulang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar